Ulumul Qur’an; Teori Ayat Nasikh-Mansukh
TEORI AYAT
NASIKH-MANSUKH
Syahdan,
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sering kita jumpai munculnya fenomena naskh
hukum. Yakni, suatu fenomena berupa pembaharuan atau penyempurnaan atau
pembatalan atau penggantian suatu produk hukum undang-undang dengan produk
hukum undang-undang terbaru yang sifatnya lebih idealis sekaligus lebih
realistis sesuai dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara yang
sifatnya dinamis.
Naskh hukum undang-undang merupakan suatu hal yang realistis sekaligus
idealis. Mengingat hukum undang-undang yang telah disusun dan –kemudian-
diterapkan oleh suatu bangsa dan negara itu haruslah bisa selalu sesuai dan up
date dengan segala bentuk kebutuhan dan tujuan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang selalu berkembang secara dinamis.
Layaknya
hukum undang-undang negara yang bersifat konvensianal, al Qur`an –sebagai kitab
samawi non-konvensional- menurut mayoritas ulama ahli hukum Islam (kaum
ushuliyin) juga mengenal dan –terkadang- menerapkan teori naskh. Yakni,
menurut mereka ada beberapa ayat al Qur`an –berisi produk hukum- yang me-naskh
(mengangkat / mencabut) ayat al Qur`an –berisi produk hukum- sebelumnya yang
lain.
Al
Qur`an merupakan kitab suci umat Islam yang menjadi petunjuk hidup utama bagi
mereka. Di samping itu, al Qur`an yang berkedudukan sebagai sumber pertama
ajaran Islam itu juga bisa bernilai ibadah (pahala) bagi umat Islam yang
membacanya.
Umat
Islam memiliki al Qur`an sebagai petunjuk hidup. Oleh Karena itu, mereka pun
wajib untuk mempelajari, memahami dan mengamalkannya.
Seluruh
umat Islam memang diberi kewajiban dan hak untuk mempelajari, memahami dan
mengamalkan al Qur`an. Hanya saja, dalam hal ini mereka sejatinya tidaklah
sedang menerima suatu amanat (kewajiban) yang mudah.
Untuk
sekedar memahami al Qur`an sejatinya merupakan suatu proses yang relatif sulit.
Karena hal itu memerlukan ilmu yang luas dari pelakunya.
Al
Qur`an (Kitabullah) –menurut al Zarkasyi- itu lautannya dalam dan pemahamannya
lembut, -sehingga- tidak akan bisa memahaminya kecuali orang yang luas ilmunya,
yang menggauli Allah dengan ketakwaannya secara rahasia dan terang-terangan,
dan yang mengagungkan-Nya ketika ia berada dalam persoalan-persolan subhat
(samar).[1]
Untuk
sekedar memahami al Qur`an sejatinya merupakan suatu proses yang relatif sulit.
Apalagi untuk menafsirkan (menjelaskan) al Qur`an. Untuk layak menafsirkan al
Qur`an diperlukan ilmu yang luas dan dalam dari pelakunya (mufassir). Di
samping dipenuhinya sejumlah syarat –oleh pelakunya.
Al
Suyuthi mengatakan:[2]
sebagian imam mengatakan: orang-orang (ulama) berbeda pendapat tentang tafsir
al Qur`an, apakah boleh bagi setiap orang untuk terjun di dalamnya? Satu
kelompok mengatakan: tidak boleh bagi seseorang untuk melaksanakan tafsir
sesuatu (ayat) dari al Qur`an, meskipun dia berilmu luas dengan mengetahui
dalil, fikih, nahwu, sejarah dan peninggalan-peninggalan. Dan tidaklah boleh
baginya (melaksanakan tafsir) kecuali habislah apa yang diriwayatkan dari Nabi
–Muhammad- tentang hal itu.
Dan di antara mereka ada orang (kelompok) yang
mengatakan : boleh untuk menafsirkannya (sesuatu dari al Qur`an) bagi seseorang
yang mengumpulkan ilmu-ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mufassir, yaitu lima
belas (15) ilmu:
pertama ilmu bahasa ,
kedua ilmu nahwu ,
ketiga ilmu shorof ,
keempat ilmu isytiqaq ,
kelima, keenam, dan ketujuh ilmu maani, ilmu
bayan dan ilmu badi’ ,
kedepalan ilmu qira`at ,
kesembilan ilmu ushuluddin
(teologi),
kesepuluh ilmu ushul fikih ,
kesebelas ilmu asbabul nuzul dan
sejarah,
kedua belas ilmu nasikh-mansukh agar seseorang mengetahui suatu
hukum dari hukum yang lainnya,
ketiga belas ilmu fikih,
keempat belas ilmu
hadits-hadits yang jelas, untuk penafsiran ayat mujmal dan mubham,
kelima belas
ilmu muhibah (mukasyafah / makrifat) …
Mengetahui
ilmu nasikh-mansukh menurut al Suyuthi merupakan salah satu dari sejumlah
syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh kelayakan dalam menafsirkan al Qur`an. Al Zarkasyi dan al Suyuthi tampak sama-sama mengatakan:[3]
para imam mengatakan tidak boleh bagi seseorang untuk menafsirkan Kitabullah
kecuali setelah mengetahui ayat nasikh dan ayat mansukh dari al Qur`an.
Dan
sungguh Ali (bin Abi Thalib) pernah mengatakan kepada seorang Qadhi (Qash ?):
apakah kamu mengetahui ayat nasikh atas ayat mansukh. Dia (Qadhi / Qash)
mengatakan : tidak. Dia (Ali) mengatakan : kamu rusak dan merusak.
Menurut
riwayat Ibn Abd al Barr,[4]
Yahya bin Maktum mengatakan: tidak ada ilmu apapun yang wajib bagi para ulama
dan para murid dan seluruh umat Islam yang lebih utama daripada ilmu
nasikh-mansukh. Karena mengambil (ayat) nasikhnya al Qur`an itu wajib sebagai
suatu kewajiban dan penerapannya (ayat nasikh) itu wajib sebagai suatu
keharusan dalam beragama, dan ayat mansukh tidak diterapkan dan tidak
dipatenkan.
Sehingga, pengetahuan akan hal itu wajib bagi setiap ulama, agar
dia tidak mewajibkan bagi dirinya dan bagi para hamba Allah atas suatu perkara
yang tidak diwajibkan oleh Allah, atau –agar dia tidak- menghilangkan dari
mereka suatu kewajiban yang diwajibkan Allah.
A.
ASUMSI DASAR
1.
Manfaat Kajian
Tentang Naskh Dalam al Qur`an
Kajian
tentang naskh dalam al Qur`an ini akan memiliki banyak manfaat dan
pengaruh yang besar bagi perkembangan kajian al Qur`an (sumber utama ajaran
Islam) dan kajian ajaran agama Islam pada umumnya.
Manfaat-manfaat
kajian tentang Naskh dalam al Qur`an, di antaranya:
a.
Pengetahuan
tentang ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh merupakan unsur yang sangat
penting (utama) untuk memahami al Qur`an: pegangan hidup utama umat Islam dan
sumber pertama ajaran Islam.
b.
Pengetahuan
tentang ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh merupakan unsur penunjang yang
penting (utama) untuk memahami ajaran syariat Islam.
c.
Pengetahuan
tentang ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh bisa mengungkap tabir-tabir
perjalanan (pembentukan) syariat Islam.
d.
Pengetahuan
tentang ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh bisa menunjukkan hikmah-hikmah
pendidikan Allah kepada kita dan strateginya.
e.
Kajian ini bisa
menciptakan buntut pembahasan yang panjang dan bercabang, karena mengkaji
sumber utama ajaran islam : al Qur`an.
2.
Pengertian
Linguistik Naskh
Menurut
ilmu gramatikal bahasa Arab (shorof), kata nâsikh dan kata mansûkh
berasal dari kata nasakha-yansukhu-naskh(an).
Yakni, kata nâsikh merupakan isim fail dari masdar berupa kata naskh.
Sehingga, kata nâsikh pun bisa dimaknai sebagai sesuatu yang me-naskh.
Adapun kata mansûkh, ia merupakan isim maful dari masdar berupa kata naskh.
Sehingga kata mansûkh tersebut bisa dimaknai sebagai sesuatu yang di-naskh.
Menurut
al Zarqani,[5]
secara bahasa kata naskh (nasakha) memiliki dua makna. Meliputi:
a.
ازالة الشيئ و اعدامه (menyingkirkan
sesuatu dan menghilangkannya). Di antaranya seperti yang terdapat dalam sabda
Allah فينسخ الله ما يلقى الشيطان
ثمّ يحكم الله اياته (Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh
setan, dan kemudian Allah menguatkan ayat-ayat-nya. QS. al Hajj : 52), kalimat نسخت الشمس الظلّ (matahari menghilangkan bayangan gelap), dan
kalimat نسخ الشيب الشباب (uban menghilangkan kemudaan).
b.
نقل الشيئ و تحويله مع بقائه في نفسه (memindahkan sesuatu dan mengubahnya disertai dengan tetapnya
keberadaan dirinya –tanpa menghilangkannya), seperti yang diisyaratkan sabda
Allah هذا كتابنا ينطق عليكم بالحقّ
انّا كنّا نستنسخ ما كنتم تعلمون (Inilah Kitab kami yang menuturkan terhadap
kamu sekalian dengan benar, Sesungguhnya kami mencatat apa yang telah kamu
kerjakan. QS. al Jatsiyah : 29)
Selanjutnya,
para ulama –masih menurut al Zarqani- kemudian tampak berbeda pendapat mengenai
pengertian bahasa yang terdapat dalam kata naskh tersebut.[6]
Ada yang mengatakan bahwa kata naskh memiliki kedua pengertian di atas –sebagai
kata sinonim.[7]
Ada yang mengatakan bahwa kata naskh memiliki pengertian yang pertama
secara hakiki –sebagai makna asli- dan
memiliki pengertian kedua secara majazi.[8]
Ada yang mengatakan bahwa kata naskh memiliki pengertian yang pertama
secara majazi dan memiliki pengertian kedua secara hakiki –sebagai makna asli.[9]
Menurut
al Zarkasyi,[10]
naskh –al Qur`an- terkadang (pernah) hadir dalam al Qur`an dalam kata بدّل – تبديل (mengganti - penggantian). Yakni dalam sabda
Allah و اذا بدّلنا ءاية مكان ءاية
(QS. al
Nahl : 101).
3.
Pengertian
Definitif Naskh
Menurut
al Zarqani, banyak definisi telah diberikan oleh para ulama untuk menjelaskan
dan menentukan pengertian definitif naskh. Hanya saja definisi-definisi naskh
itu sejatinya bisa disederhanakan lagi menjadi رفع الحكم الشرعيّ بدليل الشرعيّ (mengangkat / mencabut / mengganti hukum syariat dengan –sebab-
dalil syariat).[11]
Pengertian
naskh di atas memiliki empat maksud. Meliputi:[12]
a.
Ungkapan
mengangkat ( mencabut / mengganti) hukum memiliki maksud bahwa naskh
tidak mungkin ada tanpa adanya dua faktor. Faktor pertama: dalil syariat muncul
lebih akhir daripada dalil syariat –sebelumnya- atas hukum yang –kemudian-
diangkat (dicabut / diganti). Faktor kedua: kedua dalil syariat harus
bertentangan secara hakiki (asli) sehinga tidak bisa dipertemukan dan –atau-
dilaksanakan bersamaan sekaligus.
b.
Pengertian naskh
tidak mengarah kecuali kepada persoalan hukum. Sehingga, pembagian naskh
ke dalam naskh tilâwah (bacaan) merupakan sesuatu yang tidak
memiliki makna (fungsi).
c.
Pengertian naskh
memuat naskh al Qur`an dan juga naskh al Sunnah.
d.
Pengertian naskh
tidak menyebutkan pelaku (subyek) secara jelas. Karena pelaku naskh yang
hakiki adalah Allah, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh sabda Allah ما ننسخ من ءاية او ننسها (kami tidaklah me-naskh suatu ayat ataupun melupakannya. QS.
al Baqarah : 106).
4.
Macam-Macam Naskh
Dalam al Qur`an
Naskh dalam al Qur`an ada tiga macam. Meliputi:[13]
a.
Sesuatu yang tilâwah
(bacaan / tulisan)-nya di-naskh, dan hukumnya masih tetap berlaku.
Semisal kalimat الشيخ و الشيخة اذا زنيا فارجموهما البته نكالا من الله yang diriwayatkan sebagai bagian dari Surat al
Nur.
b.
Sesuatu yang
hukumnya di-naskh, dan tilâwah (bacaan / tulisan)-nya masih tetap
ada. Semisal ayat 234 dari Surat al Baqarah. Naskh jenis ini terdapat di
dalam 63 surat al Qur`an.
c.
Sesuatu yang tilâwah
(bacaan / tulisan) dan hukumnya di-naskh. Semisal ayat al Qur`an tentang
haramnya sepuluh saudara radha’ (10 saudara menyusu) yang tilâwah
dan hukumnya di-naskh dengan ayat al Qur`an tentang haramnya lima
saudara radha’ (5 saudara menyusu).
5.
Rukun Naskh
Dalam al Qur`an Beserta Syarat-Syaratnya
Rukun
(unsur) naskh di dalam al Qur`an (dan al Sunnah) ada empat. Meliputi:[14]
a.
Al Mansûkh : syaratnya ia harus berupa hukum syariat amaliah
yang ditetapkan dengan nash (al Qur`an dan al Sunnah) yang tidak
bersifat temporal dan –atau- final, tidak bersifat kulli (total), dan
harus bersifat lebih dulu hadir daripada al Nâsikh. Oleh karena itu,
tidak boleh ada naskh dalam persoalan kabar (informasi) murni, janji
Allah, siksa Allah, karena tidak berhubungan dengan hukum-hukum amaliah. Juga tidak berhubungan dengan hukum-hukum
akidah, karena hukum tersebut tidak memuat amar (perintah syariat) dan -atau
nahi (larangan syariat).
b.
Al Mansûkh Bih : syarat pertamanya ia harus berupa khithâb
(sabda / wahyu Tuhan), oleh karena adanya syarat ini maka waktu munculnya naskh
pun wajib tidak melampui masa risalah kerasulan, sehingga al Nâsikh
tidak berupa ijmak ataupun qiyas. Syarat keduanya ia harus diketahui secara
jelas. Syarat ketiganya ia (al Mansûkh Bih) harus memiliki jarak
tenggang waktu dengan al Mansûkh: tidak boleh lebih dulu dari al
Mansûkh, tidak boleh bersamaan dengan al Mansûkh, dan
–atau- tidak boleh setelah al Mansûkh tapi tanpa jarak tenggang
waktu. Syarat keempatnya hukum yang dibawa oleh al Mansûkh Bih harus bersifat bertentangan dengan hukum yang
di-naskh (yang dibawa oleh al Mansûkh), sehingga kedua
hukum tersebut tidak bisa dipadukan atau diterapkan semuanya.
c.
Al Nâsikh : ia adalah al Syâri’ al Hakîm yang
melakukan naskh dengan khithâb (sabda / wahyu Tuhan) yang bisa
berupa al Qur`an dan –atau- al Sunnah al Nabawiyah karena Nabi Muhammad “wa
mâ yantiqu ‘an al hawâ in huwa illa wahy yûhâ”.
d.
Al Mansûkh ‘An-Hu : ahli taklif yang berhak
diberi khithâb.
Menurut
kaum ushuliyin dua dalil dikatakan saling bertentangan jika salah satu dari
keduanya menentang yang lainnya dengan kekuatan yang sama. Dan untuk mewujudkan hal itu harus terpenuhi tiga buah
syarat. Meliputi :[15]
a.
Kedua dalil
harus sama-sama bersifat qath’i (pasti) dan –atau- dzanni
(dugaan).
b.
Kedua dalil
memiliki kekuatan dilâlah (petunjuk) atas suatu hukum yang bernilai
sama, sama-sama menunjukkan pada suatu hukum secara tersurat dan –atau- secara
tersirat.
c.
Kedua dalil
berhubungan dengan satu perkara (kejadian) dan dalam satu waktu.
B.
POLEMIK ADA
TIDAKNYA NASKH DALAM AL QUR`AN
Menurut
al Zarkasyi,[16]
tidak ada perbedaan ulama di dalam boleh (jawâz)-nya naskh suatu
ayat al Qur`an dengan suatu ayat al Qur`an yang lainnya. Hal ini sesuai dengan
petunjuk sabda Allah ما ننسخ من ءاية او ننسها نأت بخير منها او مثلها (QS. al Baqarah : 106).
Hanya saja, sejatinya Abu Muslim al Isfahani (w. 322
H) –dan pengikutnya- menolak adanya naskh –dalam al Qur`an.[17]
Dalam
persoalan ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh, para ulama bisa digolongkan
ke dalam tiga (3) golongan. Meliputi:
1.
Golongan yang
menafikan adanya ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh, semisal Abu Muslim al
Isfahani (w. 322 H). Mereka menerapkan metode takwil pada ayat-ayat mansukh,
dengan cara men-takhsîsh dan yang lainnya.
2.
Golongan yang
terkesan sangat ketat dalam klarifikasi ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh,
semisal al Qadhi Ibn al Arabi (w. 543 H)[18]
dan al Suyuthi (w. 911 H).
3.
Golongan yang
terkesan cukup longgar dalam klarifikasi ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat
mansukh, semisal Abu Ja’far al Nuhas (w. 338 H) dan Ibn Huzaimah (w. 311 H).
Menurut
Ibn Huzaimah –salah satu ulama- yang terkesan cukup longgar dalam klasifikasi
ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh:[19]
1.
Surat al Qur`an
yang di dalamya tidak terdapat ayat nasikh dan –ataupun- ayat mansukh ada 43
surat.
2.
Surat al Qur`an
yang di dalamya terdapat ayat nasikh ada 33 surat.
3.
Surat al Qur`an
yang di dalamya terdapat ayat mansukh ada 6 surat.
4.
Surat al Qur`an
yang di dalamya terdapat ayat nasikh dan ayat mansukh ada 32 surat.
5.
Di dalam al
Qur`an terdapat dua ratus empat puluh enam (246) ayat mansukh dan 77 (tujuh
puluh tujuh) ayat nasikh.
Sedangkan
menurut al Suyuthi –salah satu ulama- yang terkesan sangat ketat dalam
klasifikasi ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh: di dalam al qur`an terdapat
21 ayat-ayat mansukh yang sebagiannya masih diperselisihkan.[20]
C.
BEBAGAI
PERGESERAN PARADIGMA NASKH DALAM AL QUR`AN
1.
Sejarah
Literatur Ilmu Nasikh-Mansukh al Qur`an
Fenomena
naskh hanya muncul pada masa risalah.[21]
Artinya, pengetahuan tentang ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh –hanya-
diketahui oleh nabi Muhammad dan para sahabatnya, dan kemudian diajarkan dari
generasi ke generasi berikutnya.
Ilmu
tentang ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh mulai disusun (ditulis /
dikodifikasikan) oleh para ulama pada paruh awal (pertengahan) abad kedua H.
Sebelumnya, ilmu tersebut diketahui oleh para sahabat nabi, kemudian para
tabiin (putra sahabat nabi), kemudian para tabiittabiin.
Barangkali
Qatadah (w. 118 H) dan –atau- al Zuhri (w. 124 H), ulama pertama yang menyusun
karya tulis (kitab / maqâlah) tentang ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat
mansukh.[22]
Baik Qatadah ataupun al Zuhri sejatinya termasuk golongan tabiin, karena
keduanya merupakan murid dari sahabat Anas bin Malik ra..
Pasca
al Zuhri, ulama paruh awal abad kedua H yang diketahui pernah menyusun karya
tulis (kitab / maqâlah) tentang ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh
adalah Muhammad bin al Saib al Kalbi (w. 146 H), Muqatil bin Sulaiman al Azadi
(w. 150 H), Said bin Abi Arubah (w. 156 H) dan al Husein bin Waqid al Maruzi
(w. 159 H).
Pada
paruh awal abad kedua H, ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh telah disusun
(dikodifikasikan) oleh para ulama. Selanjutnya, pada akhir abad kedua H,
ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh yang telah tersusun (terkumpul) kemudian
dikaji secara lebih “ilmiah” dan metodologis –barangkali, untuk pertama kali-
oleh al Syafi’i (w. 204 H) dalam kitab ushul fikihnya yang berjudul al Risâlah.[23]
Semasa
dengan al Syafi’i (paruh akhir abad kedua H), Abdul Wahab bin Itha` al Bashri
(w. 204 H) dan Hajaj bin Muhammad al A’ur merupakan dua orang ulama yang
diketahui pernah menyusun karya tulis tentang ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat
mansukh.
Pada
abad ketiga H, beberapa ulama diketahui pernah menyusun karya tulis tentang ayat-ayat
nasikh dan ayat-ayat mansukh. Di antaranya Abu Ubeid al Qasim bin Salam (w. 224
H), Ja’far bin Mubasyir bin Ahmad al Tsaqafi (w. 234 H), Sureij bin Yunus al
Maruzi (w. 235 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Abu Dawud al Sijistani (w. 275
H), Abu Ishaq Ibrahim al Harbi (w. 285 H), dan Abu Muslim al Kaji Ibrahim bin
Abdullah bin Muslim (w. 292 H).
Pada
abad keempat H, beberapa ulama diketahui pernah menyusun karya tulis tentang
ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh. Di antaranya al Hallaj al Husein bin
Manshur (w. 309 H), Abdullah bin Sulaiman bin al Asy’ats al Sijsitani (w. 316
H), al Zubeir bin Ahmad bin Sulaiman al Zubeiri (w. 317 H), Abu Abdullah
Muhammad bin Hazm al Andalusi (w. 320 H), Ibn al Anbari Muhammad bin al Qasim
bin Basyar (w. 328 H), Abu Ja’far al Nuhas (w. 338 H), al Qadhi Abu Said al
Nahwi al Hasan bin Abdullah bin al Marzaban al Sairafi (w. 368 H).[24]
Dst.
2.
Berbagai
Pergeseran Paradigma Naskh Dalam al Qur`an
Telah
maklum, ayat-ayat al Qur`an yang berhubungan dengan teori naskh (dalam
al Qur`an) yang –hanya- diketahui oleh nabi Muhammad dan para sahabatnya
kemudian diajarkan dari generasi ke generasi berikutnya. Dan sebelum al Syafi’i
mengulas teori naskh secara lebih “ilmiah” dan metodologis, ayat-ayat al
Qur`an tersebut sejatinya telah sempat disusun (dikodifikasikan) oleh sejumlah
ulama –yang barangkali dipelopori oleh dua tokoh tabbiiin (shaghir) bernama
Qatadah dan al Zuhri.
Sebelum
diulas secara metodologis oleh al Syafi’i dalam kitab usul fikihnya yang berjudul
al RisâLah, teori naskh
memang telah dikenal oleh umat islam (sahabat nabi) sejak masa risalah. Hanya
saja, teori naskh yang mereka pahami agak berbeda dari teori naskh
(baru / muta`akkhir) yang diusung oleh al Syafi’i. Yakni, teori naskh
yang dipahami oleh para sahabat, tabiiin dan ulama sebelum al Syafi’i tampaknya
bersifat lebih umum dan lebih luas daripada teori naskh al Syafi’i.
Menurut
umat Islam (sahabat dan tabiin) sebelum al Syafi’i, naskh bisa dipahami
sebagai suatu istilah yang terkait dan diterapkan untuk restriction /
pembatasan (taqyîd al muthlaq), allocation / pengkhususan
(takhshîsh al ‘umûm), detailing of overall / penjelasan
atas samar (bayan al mubham) dan breakdown of total /
perincian atas global (tafshil al mujmal), ataupun
mengangkat (mencabut / mengganti) hukum syariat dengan sebab dalil syariat
mutakhir.[25]
Sedangkan
menurut al Syafi’i dalam al Risâlah,[26]
naskh bisa dipahami dalam dua hal. Pertama: makna naskh ialah
meninggalkan ke-fardhu-annya (تَرَكَ فَرْضَهُ). Kedua: fardhu selamanya tidak akan bisa di-naskh
kecuali ada fardhu –lainnya- yang telah ditetapkan pada kedudukannya (و ليس يُنْسَخُ
فرْضٌ أبدًا إلا أُثْبِتَ مكانَه فْرْضٌ).
Menurut
al Syafi’i, naskh bisa dipahami sebagai meninggalkan (تَرَكَ) dan ditetapkan (أُثْبِتَ). Jadi bisa diartikan, menurut al Syafi’i, naskh
bisa dipahami sebagai رفع يلزمه إثبات (pencabutan –hukum syariat lama- yang
melazimkan adanya penetapan –hukum syariat terbaru).
Pada
akhir abad kedua H atau permulaan abad ketiga H, teori atau definisi baru
tentang naskh yang memiliki pemahaman (pengertian) lebih sempit –dari
pemahaman teori naskh yang dikenal oleh umat Islam sebelumnya- tampak
diusung oleh al Syafi’i –yang disebut-sebut sebagai Bapak Ushul Fikih.
Selanjutnya, teori baru tersebut pun diikuti dan dikembangkan oleh ulama-ulama
setelahnya –khususnya mereka yang ahli ushul fikih (kaum ushuliyin).[27]
Beberapa
ulama tampak mengembangkan dan merekontuksi teori (pengertian) naskh
yang diusung oleh al Syafi’i. Di antaranya:[28]
a.
Ibn Hilal (w.
520 H) dalam al Ijâz : إزالة حكم
المنسوخ كله ببدل من حكم أخر او بغير بدل فهو بيان إنقضاء الزمان الذي انتهى به العمل
بذلك الفرض الاول
b.
Ibn al Jauzi
(w. 597 H) dalam Nawâsikh al Qur`ân : رفع الحكم
الذي ثُبٍتَ تكليفه للعباد إما بإسقاطه الي غير بدل او الي بدل
c.
Ibn al Hajib
(646 H) dalam al Burhân fî Ushûl al Fiqh
: رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر
Pada
–permulaan- abad ketiga H, teori atau definisi baru tentang naskh yang
memiliki pemahaman (pengertian) lebih sempit memang telah diusung oleh al
Syafi’i dan para pengikutnya. Hanya saja hal itu tidak lantas berarti bahwa
kemudian tidak lagi ulama yang masih “mempercayai” teori naskh yang
lama.
Misalnya
Ibn Huzaimah (w. 311 H), salah seorang ulama setelah al Syafii yang tampak
masih menganut “madzhab salaf” (mutaqaddimîn) tentang teori naskh.
Yakni, ia merupakan salah seorang ulama yang Kitab al Nâsikh wa
al Mansûkh-nya dapat kita temukan secara mudah –karena telah
dicetak dan dipublikasikan.
Ketika
pada –permulaan- abad ketiga H al Syafi’i dan pengikutnya mengembangkan teori naskh
yang baru. Pada waktu yang bersamaan beberapa ulama juga diketahui pernah
menyusun karya tulis tentang ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh.
Barangkali, sebagian dari mereka itu juga masih “mempercayai” teori naskh
yang lama.
Demikianlah,
sejarah menunjukkan bahwa fenomena naskh (dalam al Qur`an) merupakan
sesuatu yang historis (faktual) dan diperbolehkan (permisif) oleh –hampir-
semua ulama Islam pada tiga (3) abad pertamanya. Meskipun, pada permulaan abad
keempat H, sejarah juga mulai menunjukkan bahwa fenomena naskh (dalam al
Qur`an) tersebut merupakan sesuatu yang bisa dianggap “tabu” oleh salah satu
ulama Islam bernama Abu Muslim al Isfahani (w. 322 H).
D.
CONTOH DAN
IMPIKASI NASKH DALAM TAFSIR AL QUR`AN
Misalnya
ketika hendak menafsirkan (QS. al Baqarah: 115) seorang mufasir harus
memperhatikan bahwa ayat tersebut menurut sebagian pendapat (Ibn al Abbas)
telah di-naskh oleh (QS. al Baqarah: 150).
Firman
Allah dalam (QS. al Baqarah: 115) :
ولله المشرق و المغرب
فأينما تولّو فثمّ وجه الله ...
(Dan kepunyaan
Allah lah timur dan barat, maka kemanapun wajah kamu menghadap di situlah wajah
Allah... )
Firman
Allah dalam (QS. al Baqarah: 150) :
و من حيث خرجت فولّ
وجهك شطر المسجد الحرام ...
(Dan darimana
saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram)
Jika
mufasir mengikuti sebagian pendapat yang menyatakan bahwa (QS. al Baqarah: 115)
telah di-naskh oleh (QS. al Baqarah: 150). Maka, ketika menafsirkan (QS.
al Baqarah: 115) dia bisa menyatakan bahwa ayat yang menunjukkan pada bolehnya
berkiblat ke arah selain Masjidil Haram tersebut sejatinya telah dicabut
hukumnya dan –meskipun- tilâwah-nya tetaplah berlaku.
Jika
mufasir –masih- mengikuti sebagian pendapat yang menyatakan bahwa (QS. al
Baqarah: 115) telah di-naskh oleh (QS. al Baqarah: 150). Maka, ketika
menafsirkan (QS. al Baqarah: 115) dia kemudian juga bisa mencoba untuk
melakukan takwîl. Misalnya, dengan menyatakan bahwa (QS. al Baqarah:
115) berfungsi untuk menunjukkan pada bolehnya berkiblat ke arah selain
Masjidil Haram secara khusus ketika dalam solat sunah, dan (QS. al Baqarah:
150) berfungsi untuk menunjukkan pada wajibnya berkiblat ke arah Masjidil Haram
ketika dalam solat fardhu. Atau dengan menyatakan bahwa (QS. al Baqarah: 115)
berfungsi untuk menunjukkan pada bolehnya berkiblat ke arah selain Masjidil
Haram ketika dalam berdoa, dan (QS. al Baqarah: 150) berfungsi untuk
menunjukkan pada wajibnya berkiblat ke arah Masjidil Haram ketika dalam
bersolat.
Dan
sebaliknya jika mufasir lebih memilih untuk mengikuti sebagian pendapat lain
yang menyatakan bahwa (QS. al Baqarah: 115) tidak di-naskh –oleh (QS. al
Baqarah: 150). Maka, ketika menafsirkan (QS. al Baqarah: 115) dia bisa
menyatakan bahwa ayat tersebut diturunkan sebagai bantahan atas orang-orang
yahudi yang menyindir pemindahan arah kiblat solat dari Baitul Muqaddas ke
Baitullah Ka’bah. Yakni, sama halnya dengan yang terdapat pada (QS. al Baqarah:
142).
Firman
Allah dalam (QS. al Baqarah: 142) :
سيقول السفهاء من
الناس ما ولّا هم عن قبلتهم التي كانوا عليها فل لله المشرق و المغرب ...
(Orang-orang
yang kurang akalnya di antara manusia akan mengatakan “Apakah yang memalingkan
mereka –umat Islam- dari kiblat –solat- mereka yang dahulu mereka telah
berkiblat kepadanya”, katakanlah –wahai Muhammad- “Kepunyaan Allah lah timur
dan barat” ... )
Selanjutnya,
setelah “memilih” untuk tidak menjadikan (QS. al Baqarah: 115) sebagai ayat
mansukh, mufasir bisa menyatakan bahwa ayat tersebut berfungsi untuk
menunjukkan bahwa: seluruh semesta yang memiliki dimensi ruang dan waktu ini
adalah milik Allah yang memiliki sifat maha suci dari arah ruang dan waktu
tertentu, sehingga Allah pun berhak untuk meminta para hambanya mengarahkan
kiblat solatnya ke arah manapun, sebagaimana Allah juga berhak untuk meminta
para hambanya mengganti arah kiblat mereka.
[1] Lihat : al Zarkasyi Muhammad bin Abdullah, al Burhân fî ‘Ulûm al Qur`ân, ditahqiqkan oleh Abu al
Fadhl al Dimyathi, Kairo: Dar al Hadits, 2006, hlm. 419.
[2] Lihat : al
Suyuthi Abdurahman bin Abu Bakar, al Itqân fî ‘Ulûm al Qur`ân, ditashihkan oleh Khalid al ‘Athar, Beirut: Dar al
Fikr, 2008, hlm. II/555-6.
[4] Lihat: Ibn Abd
al Barr, Jâmi’ Bayân al ‘Ilm wa Fadhli-Hi, Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah,
1996, hlm. II/28.
[5] Lihat: al
Zarqani Muhammad Abdul Adzim, Manâhil al ‘Irfân fî ‘Ulûm al Qur`ân, ditahqiqkan
oleh Ahmad bin Ali, Kairo: Dar al Hadits, 2001, hlm. II/146.
[7] Pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Hamid al Ghazali dan al Qadhi Abu
Bakar Ibn al Arabi. Lihat: al Ja’bari Ibrahim bin Umar, Rusûkh al Akhbâr fî
Mansûkh al Akhbâr, ditahqiqkan oleh Hasan Muhammad Maqbuli al Ahdal, Jakarta:
Dinamika Barakah Utama, t.t., hlm. 79-80.
[8] Pendapat ini dari mayoritas kaum lughawiyin dan kaum ushuliyin bermadzhab
syafiiyah, malikiyah ataupun hanbaliyah.
[11] Lihat: al Zarqani, op.cit, hlm II/147. Definisi al Zarqani ini hampir sama
dengan definisi Ibn al Hajib yang mendefinisikan naskh sebagai رفع الحكم الشرعيّ بدليل شرعيّ متأخر . Lihat: al
Ja’bari, op.cit, hlm. 81-2.
[13] Lihat: al Zarkasyi, op.cit, hlm. 351-4. Bandingkan: al Suyuthi, op.cit, hlm. II/327-334. Dan al Zarqani, op.cit, hlm. II/177-9.
[14] Lihat: Musthafa Zaid, al Naskh fî al Qur`ân al Karîm, dita’liqkan oleh Muhammad Yusra
Ibrahim, Kairo: Dar al Yusra, cet. II, 2007, hlm.
I/192-4, I/199-201, I/219.
[18] Dalam kitab al
Nâsikh wa al Mansûkh-nya al Qadhi Ibn al Arabi mengulas tujuh puluh (70) surat
al Qur`an yang dipercayai memuat ayat-ayat nasikh dan atau ayat-ayat mansukh.
Lihat: al Qadhi Abu Bakar Ibn al Arabi, al Nâsikh wa al Mansûkh fî al Qur`ân al
Karîm, diberi hasyiyah oleh Zakariya Amirat , Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah,
cet. IV, 2010.
[19] Lihat: Ibn
Huzaimah, al Nâsikh wa al Mansûkh fî al Qur`ân al Karîm, Beirut: al Maktabah al
Ashriyah, 2007, hlm. 267-dst. (diterbitkan bersama dalam al Nâsikh wa al
Mansûkh fî al Qur`ân al Karîm karya Abu Ja’far al Nuhas)
[22] Lihat : Fuad Seizgin, Târîkh al Turâts al
Arabî, juz I, diarabkan oleh Mahmud Fahmi Hijazi dan Fahmi Abu al Fadhl, Kairo:
al Haiah al Mishriyah al ‘Ammah li al Kitab, 1977, hlm. 38.
[23] Lihat : al Syafi’i Muhammad bin Idris, al Risâlah, ditahqiqkan oleh Ahmad Muhammad Syakir, Kairo: Maktabah Mushtafa al
Babi al Hallabi, 1940, hlm. 106-146.
[24] Lihat: Fuad Seizgin, op.cit, hlm. 37-dst. Juga: Ibn al Nadim, al
Fihrist, ditahqiqkan oleh Muhammad Ahmad Ahmad, Kairo: al Maktabah al Taufiqiyah,
t.t., hlm. 60-61. Juga: Haji Khalifah, Kasyf al Dzunnûn,
Beirut: Dar al Fikr, 1994, hlm. II/734-5.
[25] Lihat: al Syathibi Ibrahim bin Musa, al Muwâfaqât, dieditkan oleh
Abdullah Daraz, Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, cet. VII, 2005, hlm. III/81.
Juga: Musthafa Zaid, op.cit, hlm. 101.
[27] Mereka di antaranya, al Thabari dalam kitab tafsirnya, Ibn Hazm dalam al
Ihkâm fî Ushûl al Ahkâm-nya, al Juweini dalam al Burhân fî Ushûl
al Fiqh dan al Ghazali dalam al Mustashfâ. Lihat: Musthafa Zaid, op.cit, hlm. I/74-103.
Komentar
Posting Komentar