Ulumul Qur’an; Teori Ayat Nasikh-Mansukh



TEORI AYAT NASIKH-MANSUKH
Syahdan, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sering kita jumpai munculnya fenomena naskh hukum. Yakni, suatu fenomena berupa pembaharuan atau penyempurnaan atau pembatalan atau penggantian suatu produk hukum undang-undang dengan produk hukum undang-undang terbaru yang sifatnya lebih idealis sekaligus lebih realistis sesuai dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sifatnya dinamis.

Naskh hukum undang-undang merupakan suatu hal yang realistis sekaligus idealis. Mengingat hukum undang-undang yang telah disusun dan –kemudian- diterapkan oleh suatu bangsa dan negara itu haruslah bisa selalu sesuai dan up date dengan segala bentuk kebutuhan dan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara yang selalu berkembang secara dinamis.

Layaknya hukum undang-undang negara yang bersifat konvensianal, al Qur`an –sebagai kitab samawi non-konvensional- menurut mayoritas ulama ahli hukum Islam (kaum ushuliyin) juga mengenal dan –terkadang- menerapkan teori naskh. Yakni, menurut mereka ada beberapa ayat al Qur`an –berisi produk hukum- yang me-naskh (mengangkat / mencabut) ayat al Qur`an –berisi produk hukum- sebelumnya yang lain.

Al Qur`an merupakan kitab suci umat Islam yang menjadi petunjuk hidup utama bagi mereka. Di samping itu, al Qur`an yang berkedudukan sebagai sumber pertama ajaran Islam itu juga bisa bernilai ibadah (pahala) bagi umat Islam yang membacanya.

Umat Islam memiliki al Qur`an sebagai petunjuk hidup. Oleh Karena itu, mereka pun wajib untuk mempelajari, memahami dan mengamalkannya.

Seluruh umat Islam memang diberi kewajiban dan hak untuk mempelajari, memahami dan mengamalkan al Qur`an. Hanya saja, dalam hal ini mereka sejatinya tidaklah sedang menerima suatu amanat (kewajiban) yang mudah.
Untuk sekedar memahami al Qur`an sejatinya merupakan suatu proses yang relatif sulit. Karena hal itu memerlukan ilmu yang luas dari pelakunya.

Al Qur`an (Kitabullah) –menurut al Zarkasyi- itu lautannya dalam dan pemahamannya lembut, -sehingga- tidak akan bisa memahaminya kecuali orang yang luas ilmunya, yang menggauli Allah dengan ketakwaannya secara rahasia dan terang-terangan, dan yang mengagungkan-Nya ketika ia berada dalam persoalan-persolan subhat (samar).[1]

Untuk sekedar memahami al Qur`an sejatinya merupakan suatu proses yang relatif sulit. Apalagi untuk menafsirkan (menjelaskan) al Qur`an. Untuk layak menafsirkan al Qur`an diperlukan ilmu yang luas dan dalam dari pelakunya (mufassir). Di samping dipenuhinya sejumlah syarat –oleh pelakunya.

Al Suyuthi mengatakan:[2] sebagian imam mengatakan: orang-orang (ulama) berbeda pendapat tentang tafsir al Qur`an, apakah boleh bagi setiap orang untuk terjun di dalamnya? Satu kelompok mengatakan: tidak boleh bagi seseorang untuk melaksanakan tafsir sesuatu (ayat) dari al Qur`an, meskipun dia berilmu luas dengan mengetahui dalil, fikih, nahwu, sejarah dan peninggalan-peninggalan. Dan tidaklah boleh baginya (melaksanakan tafsir) kecuali habislah apa yang diriwayatkan dari Nabi –Muhammad- tentang hal itu. 

Dan di antara mereka ada orang (kelompok) yang mengatakan : boleh untuk menafsirkannya (sesuatu dari al Qur`an) bagi seseorang yang mengumpulkan ilmu-ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mufassir, yaitu lima belas (15) ilmu: 
pertama ilmu bahasa , 
kedua ilmu nahwu , 
ketiga ilmu shorof , 
keempat ilmu isytiqaq , 
kelima, keenam, dan ketujuh ilmu maani, ilmu bayan dan ilmu badi’ , 
kedepalan ilmu qira`at , 
kesembilan ilmu ushuluddin (teologi), 
kesepuluh ilmu ushul fikih , 
kesebelas ilmu asbabul nuzul dan sejarah, 
kedua belas ilmu nasikh-mansukh agar seseorang mengetahui suatu hukum dari hukum yang lainnya, 
ketiga belas ilmu fikih, 
keempat belas ilmu hadits-hadits yang jelas, untuk penafsiran ayat mujmal dan mubham, 
kelima belas ilmu muhibah (mukasyafah / makrifat) …

Mengetahui ilmu nasikh-mansukh menurut al Suyuthi merupakan salah satu dari sejumlah syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh kelayakan dalam menafsirkan al Qur`an. Al Zarkasyi dan al Suyuthi tampak sama-sama mengatakan:[3] para imam mengatakan tidak boleh bagi seseorang untuk menafsirkan Kitabullah kecuali setelah mengetahui ayat nasikh dan ayat mansukh dari al Qur`an.
 Dan sungguh Ali (bin Abi Thalib) pernah mengatakan kepada seorang Qadhi (Qash ?): apakah kamu mengetahui ayat nasikh atas ayat mansukh. Dia (Qadhi / Qash) mengatakan : tidak. Dia (Ali) mengatakan : kamu rusak dan merusak.

Menurut riwayat Ibn Abd al Barr,[4] Yahya bin Maktum mengatakan: tidak ada ilmu apapun yang wajib bagi para ulama dan para murid dan seluruh umat Islam yang lebih utama daripada ilmu nasikh-mansukh. Karena mengambil (ayat) nasikhnya al Qur`an itu wajib sebagai suatu kewajiban dan penerapannya (ayat nasikh) itu wajib sebagai suatu keharusan dalam beragama, dan ayat mansukh tidak diterapkan dan tidak dipatenkan. 
Sehingga, pengetahuan akan hal itu wajib bagi setiap ulama, agar dia tidak mewajibkan bagi dirinya dan bagi para hamba Allah atas suatu perkara yang tidak diwajibkan oleh Allah, atau –agar dia tidak- menghilangkan dari mereka suatu kewajiban yang diwajibkan Allah.

A.    ASUMSI DASAR
1.    Manfaat Kajian Tentang Naskh Dalam al Qur`an
Kajian tentang naskh dalam al Qur`an ini akan memiliki banyak manfaat dan pengaruh yang besar bagi perkembangan kajian al Qur`an (sumber utama ajaran Islam) dan kajian ajaran agama Islam pada umumnya.

Manfaat-manfaat kajian tentang Naskh dalam al Qur`an, di antaranya:
a.    Pengetahuan tentang ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh merupakan unsur yang sangat penting (utama) untuk memahami al Qur`an: pegangan hidup utama umat Islam dan sumber pertama ajaran Islam.

b.    Pengetahuan tentang ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh merupakan unsur penunjang yang penting (utama) untuk memahami ajaran syariat Islam.

c.    Pengetahuan tentang ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh bisa mengungkap tabir-tabir perjalanan (pembentukan) syariat Islam.

d.   Pengetahuan tentang ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh bisa menunjukkan hikmah-hikmah pendidikan Allah kepada kita dan strateginya.

e.    Kajian ini bisa menciptakan buntut pembahasan yang panjang dan bercabang, karena mengkaji sumber utama ajaran islam : al Qur`an.

2.    Pengertian Linguistik Naskh
Menurut ilmu gramatikal bahasa Arab (shorof), kata nâsikh dan kata mansûkh berasal dari kata nasakha-yansukhu-naskh(an). Yakni, kata nâsikh merupakan isim fail dari masdar berupa kata naskh. Sehingga, kata nâsikh pun bisa dimaknai sebagai sesuatu yang me-naskh
Adapun kata mansûkh, ia merupakan isim maful dari masdar berupa kata naskh. Sehingga kata mansûkh tersebut bisa dimaknai sebagai sesuatu yang di-naskh.

Menurut al Zarqani,[5] secara bahasa kata naskh (nasakha) memiliki dua makna. Meliputi:
a.    ازالة الشيئ و اعدامه (menyingkirkan sesuatu dan menghilangkannya). Di antaranya seperti yang terdapat dalam sabda Allah فينسخ الله ما يلقى الشيطان ثمّ يحكم الله اياته  (Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan, dan kemudian Allah menguatkan ayat-ayat-nya. QS. al Hajj : 52), kalimat نسخت الشمس الظلّ (matahari menghilangkan bayangan gelap), dan kalimat نسخ الشيب الشباب (uban menghilangkan kemudaan).

b.    نقل الشيئ و تحويله مع بقائه في نفسه (memindahkan sesuatu dan mengubahnya disertai dengan tetapnya keberadaan dirinya –tanpa menghilangkannya), seperti yang diisyaratkan sabda Allah هذا كتابنا ينطق عليكم بالحقّ انّا كنّا نستنسخ ما كنتم تعلمون  (Inilah Kitab kami yang menuturkan terhadap kamu sekalian dengan benar, Sesungguhnya kami mencatat apa yang telah kamu kerjakan. QS. al Jatsiyah : 29)
Selanjutnya, para ulama –masih menurut al Zarqani- kemudian tampak berbeda pendapat mengenai pengertian bahasa yang terdapat dalam kata naskh tersebut.[6] Ada yang mengatakan bahwa kata naskh memiliki kedua pengertian di atas –sebagai kata sinonim.[7] Ada yang mengatakan bahwa kata naskh memiliki pengertian yang pertama secara hakiki –sebagai makna asli-  dan memiliki pengertian kedua secara majazi.[8] Ada yang mengatakan bahwa kata naskh memiliki pengertian yang pertama secara majazi dan memiliki pengertian kedua secara hakiki –sebagai makna asli.[9]

Menurut al Zarkasyi,[10] naskh –al Qur`an- terkadang (pernah) hadir dalam al Qur`an dalam kata بدّل – تبديل  (mengganti - penggantian). Yakni dalam sabda Allah و اذا بدّلنا ءاية مكان ءاية   (QS. al Nahl : 101).

3.    Pengertian Definitif Naskh
Menurut al Zarqani, banyak definisi telah diberikan oleh para ulama untuk menjelaskan dan menentukan pengertian definitif naskh. Hanya saja definisi-definisi naskh itu sejatinya bisa disederhanakan lagi menjadi رفع الحكم الشرعيّ بدليل الشرعيّ (mengangkat / mencabut / mengganti hukum syariat dengan –sebab- dalil syariat).[11]

Pengertian naskh di atas memiliki empat maksud. Meliputi:[12]
a.    Ungkapan mengangkat ( mencabut / mengganti) hukum memiliki maksud bahwa naskh tidak mungkin ada tanpa adanya dua faktor. Faktor pertama: dalil syariat muncul lebih akhir daripada dalil syariat –sebelumnya- atas hukum yang –kemudian- diangkat (dicabut / diganti). Faktor kedua: kedua dalil syariat harus bertentangan secara hakiki (asli) sehinga tidak bisa dipertemukan dan –atau- dilaksanakan bersamaan sekaligus.

b.    Pengertian naskh tidak mengarah kecuali kepada persoalan hukum. Sehingga, pembagian naskh ke dalam naskh tilâwah (bacaan) merupakan sesuatu yang tidak memiliki makna (fungsi).

c.    Pengertian naskh memuat naskh al Qur`an dan juga naskh al Sunnah.

d.   Pengertian naskh tidak menyebutkan pelaku (subyek) secara jelas. Karena pelaku naskh yang hakiki adalah Allah, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh sabda Allah  ما ننسخ من ءاية او ننسها (kami tidaklah me-naskh suatu ayat ataupun melupakannya. QS. al Baqarah : 106).

4.    Macam-Macam Naskh Dalam al Qur`an
Naskh dalam al Qur`an ada tiga macam. Meliputi:[13]
a.    Sesuatu yang tilâwah (bacaan / tulisan)-nya di-naskh, dan hukumnya masih tetap berlaku. Semisal kalimat الشيخ و الشيخة اذا زنيا فارجموهما البته نكالا من الله  yang diriwayatkan sebagai bagian dari Surat al Nur.
b.    Sesuatu yang hukumnya di-naskh, dan tilâwah (bacaan / tulisan)-nya masih tetap ada. Semisal ayat 234 dari Surat al Baqarah. Naskh jenis ini terdapat di dalam 63 surat al Qur`an.
c.    Sesuatu yang tilâwah (bacaan / tulisan) dan hukumnya di-naskh. Semisal ayat al Qur`an tentang haramnya sepuluh saudara radha’ (10 saudara menyusu) yang tilâwah dan hukumnya di-naskh dengan ayat al Qur`an tentang haramnya lima saudara radha’ (5 saudara menyusu).

5.    Rukun Naskh Dalam al Qur`an Beserta Syarat-Syaratnya
Rukun (unsur) naskh di dalam al Qur`an (dan al Sunnah) ada empat. Meliputi:[14]
a.    Al Mansûkh : syaratnya ia harus berupa hukum syariat amaliah yang ditetapkan dengan nash (al Qur`an dan al Sunnah) yang tidak bersifat temporal dan –atau- final, tidak bersifat kulli (total), dan harus bersifat lebih dulu hadir daripada al Nâsikh. Oleh karena itu, tidak boleh ada naskh dalam persoalan kabar (informasi) murni, janji Allah, siksa Allah, karena tidak berhubungan dengan hukum-hukum amaliah.  Juga tidak berhubungan dengan hukum-hukum akidah, karena hukum tersebut tidak memuat amar (perintah syariat) dan -atau nahi (larangan syariat).

b.    Al Mansûkh Bih : syarat pertamanya ia harus berupa khithâb (sabda / wahyu Tuhan), oleh karena adanya syarat ini maka waktu munculnya naskh pun wajib tidak melampui masa risalah kerasulan, sehingga al Nâsikh tidak berupa ijmak ataupun qiyas. Syarat keduanya ia harus diketahui secara jelas. Syarat ketiganya ia (al Mansûkh Bih) harus memiliki jarak tenggang waktu dengan al Mansûkh: tidak boleh lebih dulu dari al Mansûkh, tidak boleh bersamaan dengan al Mansûkh, dan –atau- tidak boleh setelah al Mansûkh tapi tanpa jarak tenggang waktu. Syarat keempatnya hukum yang dibawa oleh al Mansûkh Bih  harus bersifat bertentangan dengan hukum yang di-naskh (yang dibawa oleh al Mansûkh), sehingga kedua hukum tersebut tidak bisa dipadukan atau diterapkan semuanya.

c.    Al Nâsikh : ia adalah al Syâri’ al Hakîm yang melakukan naskh dengan khithâb (sabda / wahyu Tuhan) yang bisa berupa al Qur`an dan –atau- al Sunnah al Nabawiyah karena Nabi Muhammad “wa mâ yantiqu ‘an al hawâ in huwa illa wahy yûhâ”.

d.   Al MansûkhAn-Hu : ahli taklif yang berhak diberi khithâb.
Menurut kaum ushuliyin dua dalil dikatakan saling bertentangan jika salah satu dari keduanya menentang yang lainnya dengan kekuatan yang sama. Dan untuk  mewujudkan hal itu harus terpenuhi tiga buah syarat. Meliputi :[15]
a.    Kedua dalil harus sama-sama bersifat qath’i (pasti) dan –atau- dzanni (dugaan).
b.    Kedua dalil memiliki kekuatan dilâlah (petunjuk) atas suatu hukum yang bernilai sama, sama-sama menunjukkan pada suatu hukum secara tersurat dan –atau- secara tersirat.
c.    Kedua dalil berhubungan dengan satu perkara (kejadian) dan dalam satu waktu.

B.     POLEMIK ADA TIDAKNYA NASKH DALAM AL QUR`AN
Menurut al Zarkasyi,[16] tidak ada perbedaan ulama di dalam boleh (jawâz)-nya naskh suatu ayat al Qur`an dengan suatu ayat al Qur`an yang lainnya. Hal ini sesuai dengan petunjuk sabda Allah ما ننسخ من ءاية او ننسها نأت بخير منها او مثلها   (QS. al Baqarah : 106).
Hanya saja, sejatinya Abu Muslim al Isfahani (w. 322 H) –dan pengikutnya- menolak adanya naskh –dalam al Qur`an.[17]

Dalam persoalan ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh, para ulama bisa digolongkan ke dalam tiga (3) golongan. Meliputi:
1.    Golongan yang menafikan adanya ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh, semisal Abu Muslim al Isfahani (w. 322 H). Mereka menerapkan metode takwil pada ayat-ayat mansukh, dengan cara men-takhsîsh dan yang lainnya.

2.    Golongan yang terkesan sangat ketat dalam klarifikasi ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh, semisal al Qadhi Ibn al Arabi (w. 543 H)[18] dan al Suyuthi (w. 911 H).

3.    Golongan yang terkesan cukup longgar dalam klarifikasi ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh, semisal Abu Ja’far al Nuhas (w. 338 H) dan Ibn Huzaimah (w. 311 H).

Menurut Ibn Huzaimah –salah satu ulama- yang terkesan cukup longgar dalam klasifikasi ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh:[19]
1.    Surat al Qur`an yang di dalamya tidak terdapat ayat nasikh dan –ataupun- ayat mansukh ada 43 surat.
2.    Surat al Qur`an yang di dalamya terdapat ayat nasikh ada 33 surat.
3.    Surat al Qur`an yang di dalamya terdapat ayat mansukh ada 6 surat.
4.    Surat al Qur`an yang di dalamya terdapat ayat nasikh dan ayat mansukh ada 32 surat.
5.    Di dalam al Qur`an terdapat dua ratus empat puluh enam (246) ayat mansukh dan 77 (tujuh puluh tujuh) ayat nasikh.
Sedangkan menurut al Suyuthi –salah satu ulama- yang terkesan sangat ketat dalam klasifikasi ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh: di dalam al qur`an terdapat 21 ayat-ayat mansukh yang sebagiannya masih diperselisihkan.[20]

C.    BEBAGAI PERGESERAN PARADIGMA NASKH DALAM AL QUR`AN
1.      Sejarah Literatur Ilmu Nasikh-Mansukh al Qur`an
Fenomena naskh hanya muncul pada masa risalah.[21] Artinya, pengetahuan tentang ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh –hanya- diketahui oleh nabi Muhammad dan para sahabatnya, dan kemudian diajarkan dari generasi ke generasi berikutnya.
Ilmu tentang ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh mulai disusun (ditulis / dikodifikasikan) oleh para ulama pada paruh awal (pertengahan) abad kedua H. Sebelumnya, ilmu tersebut diketahui oleh para sahabat nabi, kemudian para tabiin (putra sahabat nabi), kemudian para tabiittabiin.
Barangkali Qatadah (w. 118 H) dan –atau- al Zuhri (w. 124 H), ulama pertama yang menyusun karya tulis (kitab / maqâlah) tentang ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh.[22] Baik Qatadah ataupun al Zuhri sejatinya termasuk golongan tabiin, karena keduanya merupakan murid dari sahabat Anas bin Malik ra..
Pasca al Zuhri, ulama paruh awal abad kedua H yang diketahui pernah menyusun karya tulis (kitab / maqâlah) tentang ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh adalah Muhammad bin al Saib al Kalbi (w. 146 H), Muqatil bin Sulaiman al Azadi (w. 150 H), Said bin Abi Arubah (w. 156 H) dan al Husein bin Waqid al Maruzi (w. 159 H).
Pada paruh awal abad kedua H, ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh telah disusun (dikodifikasikan) oleh para ulama. Selanjutnya, pada akhir abad kedua H, ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh yang telah tersusun (terkumpul) kemudian dikaji secara lebih “ilmiah” dan metodologis –barangkali, untuk pertama kali- oleh al Syafi’i (w. 204 H) dalam kitab ushul fikihnya yang berjudul al Risâlah.[23]
Semasa dengan al Syafi’i (paruh akhir abad kedua H), Abdul Wahab bin Itha` al Bashri (w. 204 H) dan Hajaj bin Muhammad al A’ur merupakan dua orang ulama yang diketahui pernah menyusun karya tulis tentang ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh.
Pada abad ketiga H, beberapa ulama diketahui pernah menyusun karya tulis tentang ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh. Di antaranya Abu Ubeid al Qasim bin Salam (w. 224 H), Ja’far bin Mubasyir bin Ahmad al Tsaqafi (w. 234 H), Sureij bin Yunus al Maruzi (w. 235 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Abu Dawud al Sijistani (w. 275 H), Abu Ishaq Ibrahim al Harbi (w. 285 H), dan Abu Muslim al Kaji Ibrahim bin Abdullah bin Muslim (w. 292 H).
Pada abad keempat H, beberapa ulama diketahui pernah menyusun karya tulis tentang ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh. Di antaranya al Hallaj al Husein bin Manshur (w. 309 H), Abdullah bin Sulaiman bin al Asy’ats al Sijsitani (w. 316 H), al Zubeir bin Ahmad bin Sulaiman al Zubeiri (w. 317 H), Abu Abdullah Muhammad bin Hazm al Andalusi (w. 320 H), Ibn al Anbari Muhammad bin al Qasim bin Basyar (w. 328 H), Abu Ja’far al Nuhas (w. 338 H), al Qadhi Abu Said al Nahwi al Hasan bin Abdullah bin al Marzaban al Sairafi (w. 368 H).[24] Dst.

2.      Berbagai Pergeseran Paradigma Naskh Dalam al Qur`an
Telah maklum, ayat-ayat al Qur`an yang berhubungan dengan teori naskh (dalam al Qur`an) yang –hanya- diketahui oleh nabi Muhammad dan para sahabatnya kemudian diajarkan dari generasi ke generasi berikutnya. Dan sebelum al Syafi’i mengulas teori naskh secara lebih “ilmiah” dan metodologis, ayat-ayat al Qur`an tersebut sejatinya telah sempat disusun (dikodifikasikan) oleh sejumlah ulama –yang barangkali dipelopori oleh dua tokoh tabbiiin (shaghir) bernama Qatadah dan al Zuhri.
Sebelum diulas secara metodologis oleh al Syafi’i dalam kitab usul fikihnya yang berjudul al RisâLah, teori naskh memang telah dikenal oleh umat islam (sahabat nabi) sejak masa risalah. Hanya saja, teori naskh yang mereka pahami agak berbeda dari teori naskh (baru / muta`akkhir) yang diusung oleh al Syafi’i. Yakni, teori naskh yang dipahami oleh para sahabat, tabiiin dan ulama sebelum al Syafi’i tampaknya bersifat lebih umum dan lebih luas daripada teori naskh al Syafi’i.
Menurut umat Islam (sahabat dan tabiin) sebelum al Syafi’i, naskh bisa dipahami sebagai suatu istilah yang terkait dan diterapkan untuk restriction / pembatasan (taqyîd al muthlaq), allocation / pengkhususan (takhshîsh alumûm), detailing of overall / penjelasan atas samar (bayan al mubham) dan breakdown of total / perincian atas global (tafshil al mujmal), ataupun mengangkat (mencabut / mengganti) hukum syariat dengan sebab dalil syariat mutakhir.[25]
Sedangkan menurut al Syafi’i dalam al Risâlah,[26] naskh bisa dipahami dalam dua hal. Pertama: makna naskh ialah meninggalkan ke-fardhu-annya (تَرَكَ فَرْضَهُ). Kedua: fardhu selamanya tidak akan bisa di-naskh kecuali ada fardhu –lainnya- yang telah ditetapkan pada kedudukannya (و ليس يُنْسَخُ فرْضٌ أبدًا إلا أُثْبِتَ مكانَه فْرْضٌ).
Menurut al Syafi’i, naskh bisa dipahami sebagai meninggalkan (تَرَكَ) dan ditetapkan (أُثْبِتَ). Jadi bisa diartikan, menurut al Syafi’i, naskh bisa dipahami sebagai رفع يلزمه إثبات (pencabutan –hukum syariat lama- yang melazimkan adanya penetapan –hukum syariat terbaru).
Pada akhir abad kedua H atau permulaan abad ketiga H, teori atau definisi baru tentang naskh yang memiliki pemahaman (pengertian) lebih sempit –dari pemahaman teori naskh yang dikenal oleh umat Islam sebelumnya- tampak diusung oleh al Syafi’i –yang disebut-sebut sebagai Bapak Ushul Fikih. Selanjutnya, teori baru tersebut pun diikuti dan dikembangkan oleh ulama-ulama setelahnya –khususnya mereka yang ahli ushul fikih (kaum ushuliyin).[27]

Beberapa ulama tampak mengembangkan dan merekontuksi teori (pengertian) naskh yang diusung oleh al Syafi’i. Di antaranya:[28]
a.    Ibn Hilal (w. 520 H) dalam al Ijâz : إزالة حكم المنسوخ كله ببدل من حكم أخر او بغير بدل فهو بيان إنقضاء الزمان الذي انتهى به العمل بذلك الفرض الاول
b.    Ibn al Jauzi (w. 597 H) dalam Nawâsikh al Qur`ân : رفع الحكم الذي ثُبٍتَ تكليفه للعباد إما بإسقاطه الي غير بدل او الي بدل
c.    Ibn al Hajib (646 H) dalam al Burhân Ushûl al Fiqh : رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر
Pada –permulaan- abad ketiga H, teori atau definisi baru tentang naskh yang memiliki pemahaman (pengertian) lebih sempit memang telah diusung oleh al Syafi’i dan para pengikutnya. Hanya saja hal itu tidak lantas berarti bahwa kemudian tidak lagi ulama yang masih “mempercayai” teori naskh yang lama.
Misalnya Ibn Huzaimah (w. 311 H), salah seorang ulama setelah al Syafii yang tampak masih menganut “madzhab salaf” (mutaqaddimîn) tentang teori naskh. Yakni, ia merupakan salah seorang ulama yang Kitab al Nâsikh wa al Mansûkh-nya dapat kita temukan secara mudah –karena telah dicetak dan dipublikasikan.
Ketika pada –permulaan- abad ketiga H al Syafi’i dan pengikutnya mengembangkan teori naskh yang baru. Pada waktu yang bersamaan beberapa ulama juga diketahui pernah menyusun karya tulis tentang ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh. Barangkali, sebagian dari mereka itu juga masih “mempercayai” teori naskh yang lama.
Demikianlah, sejarah menunjukkan bahwa fenomena naskh (dalam al Qur`an) merupakan sesuatu yang historis (faktual) dan diperbolehkan (permisif) oleh –hampir- semua ulama Islam pada tiga (3) abad pertamanya. Meskipun, pada permulaan abad keempat H, sejarah juga mulai menunjukkan bahwa fenomena naskh (dalam al Qur`an) tersebut merupakan sesuatu yang bisa dianggap “tabu” oleh salah satu ulama Islam bernama Abu Muslim al Isfahani (w. 322 H).

D.    CONTOH DAN IMPIKASI NASKH DALAM TAFSIR AL QUR`AN
Misalnya ketika hendak menafsirkan (QS. al Baqarah: 115) seorang mufasir harus memperhatikan bahwa ayat tersebut menurut sebagian pendapat (Ibn al Abbas) telah di-naskh oleh (QS. al Baqarah: 150).
Firman Allah dalam (QS. al Baqarah: 115) :
ولله المشرق و المغرب فأينما تولّو فثمّ وجه الله ... 
(Dan kepunyaan Allah lah timur dan barat, maka kemanapun wajah kamu menghadap di situlah wajah Allah... )
Firman Allah dalam (QS. al Baqarah: 150) :
و من حيث خرجت فولّ وجهك شطر المسجد الحرام ...
(Dan darimana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram)
Jika mufasir mengikuti sebagian pendapat yang menyatakan bahwa (QS. al Baqarah: 115) telah di-naskh oleh (QS. al Baqarah: 150). Maka, ketika menafsirkan (QS. al Baqarah: 115) dia bisa menyatakan bahwa ayat yang menunjukkan pada bolehnya berkiblat ke arah selain Masjidil Haram tersebut sejatinya telah dicabut hukumnya dan –meskipun- tilâwah-nya tetaplah berlaku.
Jika mufasir –masih- mengikuti sebagian pendapat yang menyatakan bahwa (QS. al Baqarah: 115) telah di-naskh oleh (QS. al Baqarah: 150). Maka, ketika menafsirkan (QS. al Baqarah: 115) dia kemudian juga bisa mencoba untuk melakukan takwîl. Misalnya, dengan menyatakan bahwa (QS. al Baqarah: 115) berfungsi untuk menunjukkan pada bolehnya berkiblat ke arah selain Masjidil Haram secara khusus ketika dalam solat sunah, dan (QS. al Baqarah: 150) berfungsi untuk menunjukkan pada wajibnya berkiblat ke arah Masjidil Haram ketika dalam solat fardhu. Atau dengan menyatakan bahwa (QS. al Baqarah: 115) berfungsi untuk menunjukkan pada bolehnya berkiblat ke arah selain Masjidil Haram ketika dalam berdoa, dan (QS. al Baqarah: 150) berfungsi untuk menunjukkan pada wajibnya berkiblat ke arah Masjidil Haram ketika dalam bersolat.
Dan sebaliknya jika mufasir lebih memilih untuk mengikuti sebagian pendapat lain yang menyatakan bahwa (QS. al Baqarah: 115) tidak di-naskh –oleh (QS. al Baqarah: 150). Maka, ketika menafsirkan (QS. al Baqarah: 115) dia bisa menyatakan bahwa ayat tersebut diturunkan sebagai bantahan atas orang-orang yahudi yang menyindir pemindahan arah kiblat solat dari Baitul Muqaddas ke Baitullah Ka’bah. Yakni, sama halnya dengan yang terdapat pada (QS. al Baqarah: 142).
Firman Allah dalam (QS. al Baqarah: 142) :
سيقول السفهاء من الناس ما ولّا هم عن قبلتهم التي كانوا عليها فل لله المشرق و المغرب ...
(Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan mengatakan “Apakah yang memalingkan mereka –umat Islam- dari kiblat –solat- mereka yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya”, katakanlah –wahai Muhammad- “Kepunyaan Allah lah timur dan barat” ... )
Selanjutnya, setelah “memilih” untuk tidak menjadikan (QS. al Baqarah: 115) sebagai ayat mansukh, mufasir bisa menyatakan bahwa ayat tersebut berfungsi untuk menunjukkan bahwa: seluruh semesta yang memiliki dimensi ruang dan waktu ini adalah milik Allah yang memiliki sifat maha suci dari arah ruang dan waktu tertentu, sehingga Allah pun berhak untuk meminta para hambanya mengarahkan kiblat solatnya ke arah manapun, sebagaimana Allah juga berhak untuk meminta para hambanya mengganti arah kiblat mereka.


[1] Lihat : al Zarkasyi Muhammad bin Abdullah, al Burhân fî ‘Ulûm al Qur`ân, ditahqiqkan oleh Abu al Fadhl al Dimyathi, Kairo: Dar al Hadits, 2006, hlm. 419.
[2] Lihat : al Suyuthi Abdurahman bin Abu Bakar, al Itqân fî ‘Ulûm al Qur`ân, ditashihkan oleh Khalid al ‘Athar, Beirut: Dar al Fikr, 2008, hlm. II/555-6.
[3] Lihat:al Zarkasyi, op.cit, hlm. 347. Dan:  al Suyuthi, op.cit, hlm. II/326.
[4] Lihat: Ibn Abd al Barr, Jâmi’ Bayân al ‘Ilm wa Fadhli-Hi, Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1996, hlm. II/28.
[5] Lihat: al Zarqani Muhammad Abdul Adzim, Manâhil al ‘Irfân fî ‘Ulûm al Qur`ân, ditahqiqkan oleh Ahmad bin Ali, Kairo: Dar al Hadits, 2001, hlm. II/146.
[6] Ibid.
[7] Pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Hamid al Ghazali dan al Qadhi Abu Bakar Ibn al Arabi. Lihat: al Ja’bari Ibrahim bin Umar, Rusûkh al Akhbâr fî Mansûkh al Akhbâr, ditahqiqkan oleh Hasan Muhammad Maqbuli al Ahdal, Jakarta: Dinamika Barakah Utama, t.t., hlm. 79-80.
[8] Pendapat ini dari mayoritas kaum lughawiyin dan kaum ushuliyin bermadzhab syafiiyah, malikiyah ataupun hanbaliyah.
[9] Pendapat ini dari mayoritas kaum ushuliyin bermadzhab hanafiyah.
[10] Lihat: al Zarkasyi, op.cit, hlm. 347.
[11] Lihat: al Zarqani, op.cit, hlm II/147. Definisi al Zarqani ini hampir sama dengan definisi Ibn al Hajib yang mendefinisikan naskh sebagai رفع الحكم الشرعيّ بدليل شرعيّ متأخر . Lihat: al Ja’bari, op.cit, hlm. 81-2.
[12] Lihat: al Zarqani, op.cit, hlm. II/148-50.
[13] Lihat: al Zarkasyi, op.cit, hlm. 351-4. Bandingkan: al Suyuthi, op.cit, hlm. II/327-334. Dan al Zarqani, op.cit, hlm. II/177-9.
[14] Lihat: Musthafa Zaid, al Naskh fî al Qur`ân al Karîm, dita’liqkan oleh Muhammad Yusra Ibrahim, Kairo: Dar al Yusra, cet. II, 2007, hlm. I/192-4,  I/199-201, I/219.
[15] Ibid. hlm. I/178-9.
[16] Lihat: al Zarkasyi, op.cit, hlm. 349.
[17] Lihat: al Zarqani, op.cit, hlm. II/155, II/171-3. Juga: Musthafa Zaid, op.cit, hlm. I/236.
[18] Dalam kitab al Nâsikh wa al Mansûkh-nya al Qadhi Ibn al Arabi mengulas tujuh puluh (70) surat al Qur`an yang dipercayai memuat ayat-ayat nasikh dan atau ayat-ayat mansukh. Lihat: al Qadhi Abu Bakar Ibn al Arabi, al Nâsikh wa al Mansûkh fî al Qur`ân al Karîm, diberi hasyiyah oleh Zakariya Amirat , Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, cet. IV, 2010.
[19] Lihat: Ibn Huzaimah, al Nâsikh wa al Mansûkh fî al Qur`ân al Karîm, Beirut: al Maktabah al Ashriyah, 2007, hlm. 267-dst. (diterbitkan bersama dalam al Nâsikh wa al Mansûkh fî al Qur`ân al Karîm karya Abu Ja’far al Nuhas)
[20] Lihat: al Suyuthi, op.cit, hlm. II/329-9.
[21] Ibid. hlm. I/185.
[22] Lihat : Fuad Seizgin, Târîkh al Turâts al Arabî, juz I, diarabkan oleh Mahmud Fahmi Hijazi dan Fahmi Abu al Fadhl, Kairo: al Haiah al Mishriyah al ‘Ammah li al Kitab, 1977, hlm. 38.
[23] Lihat : al Syafi’i Muhammad bin Idris, al Risâlah, ditahqiqkan oleh Ahmad Muhammad Syakir, Kairo: Maktabah Mushtafa al Babi al Hallabi, 1940, hlm. 106-146.
[24] Lihat: Fuad Seizgin, op.cit, hlm. 37-dst. Juga: Ibn al Nadim, al Fihrist, ditahqiqkan oleh Muhammad Ahmad Ahmad, Kairo: al Maktabah al Taufiqiyah, t.t., hlm. 60-61. Juga: Haji Khalifah, Kasyf al Dzunnûn, Beirut: Dar al Fikr, 1994, hlm. II/734-5.
[25] Lihat: al Syathibi Ibrahim bin Musa, al Muwâfaqât, dieditkan oleh Abdullah Daraz, Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, cet. VII, 2005, hlm. III/81. Juga: Musthafa Zaid, op.cit, hlm. 101.
[26] Lihat: al Syafi’i, op.cit, hlm. 109, 122.
[27] Mereka di antaranya, al Thabari dalam kitab tafsirnya, Ibn Hazm dalam al Ihkâm fî Ushûl al Ahkâm-nya, al Juweini dalam al Burhân fî Ushûl al Fiqh dan al Ghazali dalam al Mustashfâ. Lihat:  Musthafa Zaid, op.cit, hlm. I/74-103.
[28] Ibid. hlm. I/99-100.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fiqh Siyasah; Perang dan Damai dalam Islam

7 (Tujuh) Ayat "Salam" dalam Al Qur'an

TARIF RETRIBUSI WISATA RELIGI