Fiqh Siyasah; Perang dan Damai dalam Islam
PERANG DAN DAMAI DALAM ISLAM
Editor: Miftakhussalam[1]
Pendahuluan
Peperangan merupakan suatu
peristiwa yang ‘lumrah’ terjadi pada masa dahulu hingga pada masa sekarang,
walaupun dengan cara dan teknis yang berbeda, namun hakikatnya sama, yaitu
sama-sama merebutkan sesuatu untuk dikuasai, terutama untuk menguasai suatu
wilayah dan memperbesar komunitas yang dimiliki. Begitu juga dalam Islam, jika
melihat sejarah awal mula Islam muncul bersamaan dengan diutusnya seorang Rasul
terakhir bernama Nabi Muhammad SAW, hingga Islam yang diajarkannya tersebar
luas, tidak pernah lepas dari yang namanya peperangan. Ada begitu banyak peperangan yang terjadi, dimana umat Islam terlibat di
dalamnya, bahkan menjadi tokoh utama dalam peperangan.
Di kalangan masyarakat, Islam sering dianggap sebagai agama pedang, atau
agama yang disebarkan melalui hunusan pedang. Hal ini disebabkan sebuah anggapan
bahwa peperangan yang terjadi di kalangan umat Islam terdahulu pada masa Nabi Muhammad
Saw sampai masa Tabi’in merupakan sebuah cara
untuk menyebarkan agama Islam. Anggapan seperti ini banyak dilontarkan oleh
kalangan Non-Muslim yang memiliki kebencian terhadap Islam, atau para orientalis yang
berusaha mempelajari Islam dengan tujuan mencari sisi buruk di dalam Islam atau bahkan oleh orang Islam sendiri yang bisa dikatakan pemahaman
agamanya masih dangkal. Mereka seringkali memaknai peperangan sebagai jalan
satu-satunya dalam menyebarkan agama Islam, sehingga Islam diidentikan dengan
kekerasan. Padahal ajaran Islam merupakan ajaran yang rahmatan lil ‘aalamiin
dan agama yang mengajarkan tentang perdamaian dan kasih sayang.
Berangkat dari permasalahan tersebut, tulisan ini akan membahas
bagaimana sebenarnya peperangan dalam Islam, baik status hukumnya, ketentuan pelaksanaannya,
serta jawaban terhadap pernyataan yang menganggap Islam sebagai agama pedang
yang identik dengan kekerasan dan peperangan.
Pembahasan
A. Makna Perang
Dalam Islam
Ketika mendengar atau membaca istilah peperangan, maka akan segera
terlintas di benak orang tentang jihad, perang, kekerasan, peperangan, bahkan terorisme, karena kita menilai sesuatu berdasarkan apa yang kita
alami atau apa yang kita rasakan. Dari sini akan di bedakan terlebih dahulu
makna masing-masing kata tersebut.
1.
Jihad (Al-Jihad)
Yusuf Qardhawi dalam bukunya Fiqih Jihad menjelaskan bahwa,
jihad adalah bentuk isim masdhar dari
kata jahada-yujahidu-jihadan-mujahadah. Secara etimologi, jihad
berarti mencurahkan usaha (badzl al-juhd), kemampuan dan tenaga. Jihad
secara bahasa berarti menanggung kesulitan. Dalam Al-Qur’an sendiri kata jihad disebut dengan berbagai bentuknya sebanyak
34 kali.[2]
2. Perang (Al-Harb)
Perang berarti suatu
kelompok menggunakan senjata atau kekuatan materi untuk melawan kelompok lain. Jihad
berbeda dengan perang, jihad adalah makna yang berkaitan dengan agama. Jihad
berbeda seiring dengan perbedaan tujuan, motif, akhlak, dan batasan. Sedangkan
perang adalah makna yang berkaitan dengan dunia. Biasanya tujuan perang adalah
melakukan hegemoni, menindas atau merampas kekayaan orang lain.
3. Kekerasan (Al-‘Unf)
Kekerasan berarti kasar (as-sayyidah wa al-Ghalzhah). Kata ini
merupakan lawan dari halus (al-rifq) dan lemah lembut (al-layyin). Menurut
Yusuf Qardhawi kata tersebut tidak ada di dalam Al-Qur’an, baik dalam bentuk mashdar, fi’il, atau shifah,
4. Peperangan (Al-Qital)
Peperangan adalah
bagian terakhir dari jihad, yaitu berperang dengan menggunakan senjata untuk
menghadapi musuh. Yusuf Qardhawi
menjelaskan bahwa makna inilah yang banyak dipahami oleh orang-orang, akan
tetapi, baik dari segi derivasi maupun makna peperangan (al-Qital)
berbeda dengan Jihad (Al-Jihad). Al-Qital adalah isim
masdhar dari kata qatala-yuqatilu-qitalan-muqatalan. Dari segi makna, ia
tidak sama dengan jihad. Sebab, kata qatala tidak sama dengan kata Jahada.
Al-Qital idiambil dari kata al-qatl, sedangkan kata al-jihad
diambil dari kata al-juhd. Kata Al-Qital dan derivasinya disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 67 kali.[3]
Peperangan (al-qital)
yang berarti pertarungan militer tidak sama dengan perang (al-harb) dalam
pemahaman zaman sekarang. Sebab peperangan bukan kelaziman yang harus dilakukan
dalam perang zaman sekarang, meskipun ia tidak bisa lepas dari perang. Ini
karena peperangan berarti dua kelompok yang saling berhadapan. Sedangkan pada
perang zaman sekarang, terkadang hanya satu kelompok yang melemparkan bom
canggih dan nuklir yang bisa lintas benua. Sedangkan kelompok lain hanya
menunggu hantaman yang akan membunuhnya dan tidak bisa menghindar darinya.
Dari pengertian di
atas bisa kita pahami perbedaan antara masing-masing istilah yang ada. Sedangkan
peperangan yang akan dibahas
adalah peperangan dalam arti jihad, yaitu peperangan yang dilakukan dalam
rangka untuk menegakkan kalimat Allah. Sebagaimana dijelaskan Yusuf Qardhawi
bahwa peperangan tidak disebut sesuai dengan syariat, kecuali dilakukan di jalan Allah (sabilillah).
B. Hukum Peperangan Dalam
Islam
1. Keadaan
Diperbolehkannya Perang
Keliru sekali apabila
dikatakan bahwasanya kaum muslimin pada zaman periode Makkah, diajarkan untuk
bersabar ketika diserang karena mereka tidak memiliki pilihan lain, demikian
pula keliru sekali jika dikatakan bahwasanya hak untuk menghalau serangan baru ada
setelah mereka tiba di Madinah. Di Makkah, fitnah dilakukan oleh perorangan,
maka dari itu dianjurkan untuk selalu bersabar. Seandainya keadaan seperti itu terjadi
di Madinah, maka kemungkinan besar sikap kaum Muslimin juga akan tetap sama.
Akan tetapi di Madinah, fitnah tidak lagi dilakukan oleh perorangan, karena
kini kaum muslimin tidak lagi dalam jangkauan kaum Quraisy. Keadaan inilah yang
membuat mereka semakin panas dan mulai merencanakan untuk menumpas kaum
Muslimin secara besar-besaran. Mereka mengangkat senjata untuk
memporak-porandakan kaum muslimin atau memaksa kaum muslimin untuk kembali
kafir. Hal ini menjadikan Allah memberikan izin perang dalam firman-Nya yaitu:
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَٰتَلُونَ بِأَنَّهُمۡ ظُلِمُواْۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ
عَلَىٰ نَصۡرِهِمۡ لَقَدِيرٌ )٣٩( ٱلَّذِينَ أُخۡرِجُواْ مِن دِيَٰرِهِم
بِغَيۡرِ حَقٍّ إِلَّآ
أَن يَقُولُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُۗ وَلَوۡلَا دَفۡعُ ٱللَّهِ ٱلنَّاسَ بَعۡضَهُم
بِبَعۡضٖ لَّهُدِّمَتۡ صَوَٰمِعُ وَبِيَعٞ
وَصَلَوَٰتٞ وَمَسَٰجِدُ يُذۡكَرُ فِيهَا ٱسۡمُ ٱللَّهِ كَثِيرٗاۗ
وَلَيَنصُرَنَّ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ )٤٠(
Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha
Kuasa menolong mereka itu. (yaitu)
orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar,
kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan
sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang
lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah
ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama
Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (Q.S. Al-Hajj/22: 39-40).
Izin perang ini
diberikan kepada orang-orang yang diperangi dan bukan perang terhadap
sembarangan musuh, melainkan terhadap serangan musuh melancarkan serangan
terhadap mereka, adapun alasannya adalah karena “mereka dianiaya” dan “diusir
dari tempat tinggal mereka tanpa alasan yang benar”. Ini benar-benar serangan
yang dilancarkan oleh pihak musuh yang berniat untuk menghancurkan kaum
muslimin atau memaksa mereka meninggalkan agama mereka. Kemudian Allah kembali
berfirman-Nya, yaitu:
يَسۡئلُونَكَ عَنِ ٱلشَّهۡرِ ٱلۡحَرَامِ قِتَالٖ فِيهِۖ قُلۡ قِتَالٞ فِيهِ
كَبِيرٞۚ وَصَدٌّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ وَكُفۡرُۢ بِهِۦ وَٱلۡمَسۡجِدِ
ٱلۡحَرَامِ وَإِخۡرَاجُ أَهۡلِهِۦ مِنۡهُ أَكۡبَرُ عِندَ ٱللَّهِۚ وَٱلۡفِتۡنَةُ
أَكۡبَرُ مِنَ ٱلۡقَتۡلِۗ وَلَا يَزَالُونَ يُقَٰتِلُونَكُمۡ حَتَّىٰ يَرُدُّوكُمۡ
عَن دِينِكُمۡ إِنِ ٱسۡتَطَٰعُواْۚ وَمَن يَرۡتَدِدۡ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ
فَيَمُتۡ وَهُوَ كَافِرٞ فَأُوْلَٰٓئِكَ حَبِطَتۡ أَعۡمَٰلُهُمۡ فِي
ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا
خَٰلِدُونَ )٢١٧(
Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:
"Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia)
dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan
mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan
berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak
henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari
agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad
di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah
yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni
neraka, mereka kekal di dalamnya. (Q.S. Al-Baqarah/2: 217).
Di muka bumi ini tidak akan ada perdamaian, tidak ada kebebasan
dalam beragama, dan semua tempat suci untuk mengagungkan Allah akan
dihancurkan. Sungguh, tidak ada perang yang lebih suci dari perang untuk
kebebasan agama bagi umat Islam dan umat-umat lain baik untuk menyelamatkan
masjid, biara, gereja, maupun kanisah umat Yahudi. Jika di dunia ini pernah
terjadi perang suci untuk membela kebenaran, maka tidak lain tidak bukan adalah
perang yang diizinkan kepada kaum muslimin. Dan tidak sangsi lagi, bahwa perang
dengan alasan yang suci semacam itu adalah jihad. Yaitu pertempuran yang
dilakukan dengan satu-satunya tujuan agar kebenaran dapat ditegakkan dan
berkembang serta agar kebebasan jiwa tetap terpelihara. Allah juga berfirman:
وَقَٰتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَكُمۡ وَلَا تَعۡتَدُوٓاْۚ
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُعۡتَدِين) ١٩٠(
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)
janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas. (Q.S. Al-Baqarah/2: 190).
Dalam ayat diatas diterangkan dengan jelas bahwasanya satu syarat
bagi seorang Muslim untuk berperang adalah jangan menyerang terlebih dahulu,
memang mereka diwajibkan perang yang kini menjadi tugas suci. Akan tetapi hanyalah terhadap musuh yang memerangi mereka. Jadi,
menyerang terlebih dahulu dalam hal ini tidak diperbolehkan. Dan perang untuk
membela diri ini disebut perang di jalan Allah (fii sabilillah) karena perang untuk membela diri sendiri adalah
perang yang paling mulia dan suci. Ini adalah perang perkara membela Allah,
jika kaum muslimin tidak memerangi mereka juga maka akan terjadi kepunahan kaum
muslimin dan tidak ada lagi orang yang akan menegakkan kedaulatan Tuhan Yang
Maha Esa. Perang kaum muslimin, bukanlah untuk memaksa orang lain untuk memeluk
Islam, justru kaum muslimin-lah yang
sesungguhnya diperangi untuk memaksa mereka meninggalkan Islam.[4]
2. Ayat-ayat Landasan Hukum Peperangan
Ketentuan mengenai
jihad terus berubah-ubah dikarenakan semakin berkembangnya persenjataan, dan Islam hanya mengatur pokok-pokoknya saja. Beberapa ayat
yang dijadikan sebagai landasan hukum peperangan, antara lain:
وَأَعِدُّواْ لَهُم
مَّا ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن قُوَّةٖ وَمِن رِّبَاطِ ٱلۡخَيۡلِ تُرۡهِبُونَ بِهِۦ ...٦٠
dan siapkanlah untuk
menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi ... (Q.S. Al-Anfal/8: 60).
...فَمَا ٱسۡتَقَٰمُواْ لَكُمۡ فَٱسۡتَقِيمُواْ لَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ
ٱلۡمُتَّقِينَ ٧
... Maka selama mereka
Berlaku Lurus terhadapmu, hendaklah kamu Berlaku Lurus (pula) terhadap mereka.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (Q.S. At-Taubah/9: 7).
وَإِن جَنَحُواْ لِلسَّلۡمِ فَٱجۡنَحۡ لَهَا وَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ
إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ ٦١
dan jika mereka
condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya ... (Q.S. Al-Anfal/8: 61).
وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِن قَوۡمٍ خِيَانَةٗ فَٱنۢبِذۡ إِلَيۡهِمۡ عَلَىٰ
سَوَآءٍۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡخَآئِنِينَ ٥٨
dan jika kamu khawatir
akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, Maka kembalikanlah
Perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berkhianat. (Q.S. Al-Anfal/8: 58).
إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَ فِي سَبِيلِهِۦ صَفّٗا
كَأَنَّهُم بُنۡيَٰنٞ مَّرۡصُوصٞ ٤
Sesungguhnya Allah
menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur
seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (Q.S. Ash-Shaff/61: 4).
...وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ
شَنََٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ
لِلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ
بِمَا تَعۡمَلُونَ ٨
.... dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (Q.S. Al-Maidah/5: 8).[5]
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قَٰتِلُواْ ٱلَّذِينَ يَلُونَكُم مِّنَ ٱلۡكُفَّارِ
وَلۡيَجِدُواْ فِيكُمۡ غِلۡظَةٗۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلۡمُتَّقِينَ
)١٢٣(
Hai orang-orang yang
beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah
mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama
orang-orang yang bertaqwa. (Q.S. At-Taubah/9: 123).
قَٰتِلُواْ ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَلَا بِٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ
وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ
ٱلۡحَقِّ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ حَتَّىٰ يُعۡطُواْ ٱلۡجِزۡيَةَ
عَن يَدٖ وَهُمۡ صَٰغِرُونَ ٢٩
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan
oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama
Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai
mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk. (Q.S. At-Taubah/9:
29).
Berdasarkan ayat-ayat tersebut dan selainnya, orang-orang muslim
diwajibkan untuk senantiasa berada dalam situasi perang terhadap negara perang
(daarul-harb), sepanjang mereka mampu
melakukan itu sampai satu per satu dari wilayah perang itu tunduk kepada
kekuasaan Allah, sehingga tidak ada lagi fitnah baik moril maupun materiel
terhadap orang muslim terhadap agamanya. Inilah maksud firman Allah:
وَقَٰتِلُوهُمۡ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتۡنَةٞ وَيَكُونَ ٱلدِّينُ كُلُّهُۥ
لِلَّهِۚ فَإِنِ ٱنتَهَوۡاْ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِمَا يَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ ٣٩
dan perangilah mereka,
supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah ... (Q.S. Al-Anfal/8: 39).
Sungguh,
masalah-masalah ini membutuhkan kekuatan, peralatan dan orang. Bahwasanya perlu membutuhkan kekuatan untuk menciptakan kewibawaan hukum Islam supaya
pelaksanaan hukum hudud Islam mudah terlaksana tanpa takut, resah, dan tanpa
harus memperhatikan orang lain. [6]
C. Tata Cara Pelaksanaan
Peperangan Dalam Islam
Agar dalam peperangan
Umat Islam mendapatkan kemenangan, maka sebelum berperang hendaknya
memperhatikan hal-hal berikut:
1. Menyiapkan strategi
untuk menghadapi musuh.
Hal pertama yang harus
diperhatikan untuk meraih kemenangan, dan langkah awal yang harus dipenuhi oleh
pasukan perang Muslim adalah mempersiapkan kekuatan untuk menghadapi musuh.
Sebagaimana diperintahkan oleh Allah Swt, lihat Q.S Al-Anfal/8: 60.
Yang dimaksud kekuatan
di sini adalah faktor yang mendatangkan kekuatan. Para ulama menyebutkan ada empat aspek yaitu: pertama, maksud kekuatan adalah berbagai jenis persenjataan. Kedua,
diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw membaca ayat 60 dari
surat Al-Anfal tersebut diatas mimbar. Lalu beliau bersabda, ‘ketahuilah!
Sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah’. Beliau mengulangi perkataannya
tersebut sebanyak tiga kali. Ketiga, sebagian ulama menyebutkan bahwa
maksud kekuatan adalah benteng pertahanan. Keempat, para pakar bahasa
mengatakan bahwa makna yang tepat untuk mengartikan al-quwwah ini adalah
mencakup segala hal yang bisa dijadikan
kekuatan untuk memerangi musuh, dan segala
alat persenjataan untuk berperang dan berjihad merupakan bentuk-bentuk
kekuatan.
Ayat-ayat Al-Qur’an
diatas mewajibkan kepada umat Islam agar bersama-sama menyiapkan segala kekuatan
yang dimiliki untuk menghadapi musuh. Ini mencakup segala bentuk kekuatan, baik
secara materi maupun non-materi.
Dengan kata lain, kekuatan
ini mencakup kekuatan militer, ekonomi, pengetahuan, hingga kekuatan individu
umat yang terampil menggunakan segala macam persenjataan, dan sikap baik secara
fisik, akal, maupun psikis untuk maju ke medan perang.[7]
2. Berlatih secara rutin.
Diantara konsekuensi
lainnya untuk menghadapi peperangan yang diperhatikan oleh umat Muslim adalah
latihan secara rutin untuk menggunakan berbagai senjata, sehingga mereka
memiliki keahlian dan kemampuan yang melebihi kemampuan pihak musuh.
Langkah ini bersifat fardhu
kifayah bagi umat, dan fardhu ‘ain bagi orang-orang yang akan
bergelut dengan peperangan atau orang yang bergabung kedalam pasukan perang.
Peperangan tidak akan berjalan lancar tanpa adanya latihan yang rutin ini. Dan
apa yang tidak sempurna kewajiban kecuali dengannya, maka dia juga menjadi
wajib.[8]
3. Tetap waspada dan
berjaga-jaga.
Diantara kewajiban
umat Muslim untuk menghadapi peperangan adalah selalu berjaga dari serangan
musuh, dan melakukan segala bentuk kewaspadaan. Dengan demikian, musuh tidak
menyerang secara tiba-tiba atau memanfaatkan kelengahan umat Muslim. Karena
itu, umat Muslim harus selalu berjaga-jaga, untuk mengungkap rahasia musuh,
mengenali strategi mereka, dan membuka taktik perang yang akan mereka gunakan.
Mengenai hal ini, Allah telah menyeru kepada semua umat Muslim sebagaimana
dalam firman-Nya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ خُذُواْ حِذۡرَكُمۡ فَٱنفِرُواْ ثُبَاتٍ أَوِ ٱنفِرُواْ جَمِيعٗا ٧١
Wahai orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan
pertempuran) secara berkelompok, atau majulah bersama-sama (serentak). (Q.S. An-Nisa/4: 71).[9]
4. Mengutus mata-mata dan
penyusup.
Tujuan dari mengutus
mata-mata dan penyusup adalah untuk mencari berita tentang rahasia-rahasia
musuh. Pengutusan mata-mata ini juga sangat penting untuk mengetahui kekuatan
pasukan yang mereka miliki, senjata dan fasilitas perang yang mereka punya,
strategi perang musuh, dan
kelemahan-kelemahan musuh yang mungkin untuk bisa dimiliki oleh umat Muslim.
Dan juga untuk melihat sejauh mana kekuatan yang dimiliki musuh, sehingga bisa
disamai atau disaingi.
Rasulullah Saw pernah mengutus Sahabat untuk memata-matai pasukan Yahudi yang akan melenyapkan umat Muslim pada perang Badar. Diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud dari
Anas r.a, bahwa Nabi Muhammad Saw mengutus Busaisah
sebagai mata-mata untuk melihat apa yang sedang, dan yang akan dilakukan oleh
kafilah Abu Sufyan.[10]
Dari kisah diatas
dapat diambil kesimpulan bahwa mengutus mata-mata ketika akan ada peperangan
sangatlah penting. Karena untuk menghindarkan umat Muslim dari kekalahan.
5. Mewaspadai mata-mata
musuh.
Sebagai umat Muslim, di samping diperintahkan untuk mengungkap rahasia dan
strategi musuh, juga dituntut agar selalu berjaga-jaga dan bersikap waspada
dari pengintai dan mata-mata yang dikirim oleh pihak musuh. Apabila mata-mata
dari pihak musuh telah ketahuan melakukan pengintaian dan mereka tertangkap,
maka kita boleh membunuhnya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari bahwasanya
Salamah bin Al-Akwa berkata, seorang
mata-mata dari orang-orang musyrik mendatangi Rasulullah Saw, sedangkan orang itu sedang safar. Lalu, orang itu duduk bersama dengan
para sahabat Nabi Saw dan ia
berbincang-bincang dengan para sahabat. Kemudian orang itu pergi. Nabi Saw berkata, ‘cari dan bunuhlah dia!’ Lalu Salamah bin Al-Akwa berhasil
mendapatkannya lebih dahulu dari para sahabat yang lain, dan Ia pun
membunuhnya. Lalu Rasulullah Saw memberikan barang-barang milik orang tersebut kepada Salamah.[11]
Ketika perang tengah
berlangsung, dan masing-masing kubu telah saling berhadapan, Al-qur’an
membimbing kelompok umat muslim dengan beberapa arahan ketuhanan yang harus mereka pegang dan
perhatikan dengan baik, apabila mereka bertemu dengan musuh, sebagaimana
dalam Q.S Al-Anfal/8: 45-47.
Ayat diatas mengandung enam kewajiban yang harus
diperhatikan oleh orang-orang Muslim, diantaranya:
a. Keteguhan hati
b. Zikir kepada Allah
c. Menaati Allah dan
Rasul-Nya
d. Tidak berpecah belah
e. Bersikap sabar, dan
f. Mengikhlaskan niat
hanya karena Allah, sehingga keadaannya tidak seperti orang-orang musyrik.[12]
D. Adab Ketika Berperang
Diantara adab ketika berperang yang dikemukakan Sayyid Qutb dalam bukunya, yaitu:
1.
Diperintahkan untuk memerangi siapa saja yang memeranginya
2.
Tidak boleh memerangi orang yang berdiam diri
3.
Tidak boleh memerangi orang yang tidak memeranginya
4.
Diperintahkan memerangi orang-orang musyrik.[13]
E. Ajaran Perdamaian
Dalam Islam
Dalam al-Qur’an
gagasan tentang perdamaian merupakan pemikiran yang sangat mendasar dan
mendalam karena terkait erat dengan kemaslahatan manusia dalam kehidupannya.
Hal ini dapat dilihat dalam Q.S. Al-Mumtahanah/60: 8
sebagai berikut:
لَّا يَنۡهَىٰكُمُ
ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم
مِّن دِيَٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡهِمۡۚ
إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ ٨
Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan
tidak mengusir kamu dari kampong halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang berlaku adil. (Q.S. Al-Mumtahanah/60: 8).[14]
Ayat ini secara jelas membolehkan orang-orang mukmin menjalin
hubungan kerja sama dan berbuat baik terhadap kelompok atau golongan manapun. Pernyataan ini secara jelas dikemukakan dalam penggalan
ayat أَنْ تَبَرُّوهُمْ
وَتُقْسِطُوا yang mengandung makna berbuat
baik dan berlaku adil. Meskipun ayat ini tidak menggunakan kata yang
menunjukkan langsung kepada makna damai, akan tetapi semangat perdamaian yang
terungkap adalah substansi ayat ini.
Sebaliknya, ayat 9
dalam surat yang sama secara tegas melarang orang-orang mukmin hidup
berdampingan dengan kelompok-kelompok yang hendak memerangi dan mengusir
orang-orang mukmin dari negerinya. Bunyi ayatnya sebagai berikut:
إِنَّمَا يَنۡهَىٰكُمُ
ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ قَٰتَلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَأَخۡرَجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ
وَظَٰهَرُواْ عَلَىٰٓ إِخۡرَاجِكُمۡ
أَن تَوَلَّوۡهُمۡۚ وَمَن يَتَوَلَّهُمۡ
فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ٩
Sesungguhnya Allah hanya melarang
kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan
mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan
Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang
yang zalim. (Q.S. Al-Mumtahanah/60:
9).[15]
Prinsip dasar lain yang dapat dikemukakan bahwa kedamaian yang
mantap hanya dapat dicapai melalui penyebaran prinsip-prinsip ajakan kepada
kebajikan dan berbagai usaha preventif terhadap kemungkaran. Bila tidak, maka ide-ide perdamaian hanyalah slogan belaka yang tidak
mungkin akan terwujud. Bila dikaitkan lebih jauh dengan konsep HAM, maka
cita-cita yang diharapkan semua orang adalah kedamaian. Dengan demikian bila
hak-hak asasi yang melekat pada diri manusia terpenuhi, dengan sendirinya
kedamaian akan tercipta. Perdamaian abadi akan terwujud bila semua pihak dapat
menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan rambu-rambu larangan Tuhan.
Terdapat beberapa
kisah perjuangan dan pertempuran Rasulullah Saw yang menunjukkan sikap bijaksana dan keluhuran akhlaknya. Kisah perdamaian Hudaibiyah antara Rasulullah Saw dengan pihak Quraisy yang membuahkan perjanjian yang disepakati kedua
belah pihak. Kemudian contoh lain yaitu perjanjian Rasulullah Saw dengan orang Yahudi yang membuahkan Piagam Madinah.[16]
Perjanjian tersebut
merupakan suatu kemenangan yang murni karena perjanjian tersebut membawa kedua
belah pihak lebih dekat dan memberikan mereka kesempatan untuk menyelesaikan
perbedaan mereka dengan jalan damai.[17]
Jalan damai adalah jalan paling baik untuk menjaga ukhuwah. Perdamaian adalah penyesuaian dan pengarahan
yang baik dimana kedua belah pihak dapat menyelesaikan masalah atau
pertentangannya dengan cara damai dan dengan jalan keluar yang sama-sama
tidak merugikan sehingga dapat menciptakan suasana yang kondusif dan tanpa ada
pertumpahan darah.
Kesimpulan
Peperangan
merupakan puncak dari jihad, atau bagian jihad yang terakhir, dalam artian perang disyariatkan untuk umat Islam apabila keadaan sudah tidak lagi
memungkinkan dilakukan dengan cara damai. Dan peperangan dalam Islam memiliki
ketentuan yang jelas dan ketat, tidak sebagaimana layaknya perang yang terjadi
saat ini, dimana satu golongan kuat yang bersenjata lengkap meluluhlantakkan
kelompok yang lemah untuk menguasai kekayaan atau daerahnya. Karena peperangan
dalam Islam dilakukan dalam rangka membela diri atau melindungi kelompoknya apabila
diserang terlebih dahulu.
Meskipun
ajaran perang ada dalam Islam, namun sesungguhnya Islam sangat menjunjung
tinggi perdamaian, ajaran-ajaran Islam selalu berorientasi untuk perdamaian.
Bahkan perang dalam Islam juga dilakukan dalam rangka menciptakan perdamaian
berdasarkan syari’at Allah SWT. Meluruskan yang bengkok dan membenarkan apa
yang belum benar, sehingga peran Islam sebagai Agama yang rahmatan lil
‘aalamiin bisa terwujud dengan sebaik-baiknya.
Daftar Pustaka
Abazhah, Nizar, Perang Muhammad
(Kisah Perjuangan Dan Pertempuran
Rasulullah),Jakarta: Zaman,2011.
Al-Qur’an, Mushaf
Al-Azhar, Jakarta: Penerbit Hilal, 2010.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Teuku Muhammad, Al-Islam, Semarang: PT Pustaka Rizqi
Putra, 2007.
Hawwa, Said, Al-Islam, terj. Abdul Hayyie Al Kattani, dkk Jakarta: Gema Insani,
2004.
Muhammad Ali, Maulana, Islamologi (Dinul Islam), terj. R. Kaelan, H. M.
Bachrun, Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1996.
Qardhawi, Yusuf, Fiqh Al-Jihad: Dirasah
Muqaranah Li Ahkamihi Wa
Falsafatihi Fi Dhau’ Al-Qur’an Wa
As-Sunnah, terj. Irfan
Maulana Hakim
& Arif Munandar Ruswanto, Bandung: Mizan, 2010.
Qutb, Sayid, Petunjuk
Jalan, Jakarta: Media Dakwah, 1990.
Rahman, Afzalur, Nabi Muhammad Sebagai
Seorang Pemimpin Militer, Jakarta:
Amzah, 2006.
[1] Alumni; UIN Walisongo Semarang, PP. Raudlatut
Thalibin Tugurejo-Kota Semarang, PP. Al-Hikmah Benda-Brebes.
[2] Yusuf Qardhawi, Fiqh Al-Jihad: Dirasah
Muqaranah Li Ahkamihi Wa Falsafatihi Fi Dhau’ Al-Qur’an Wa As-Sunnah, terj.
Irfan Maulana Hakim & Arif Munandar Ruswanto, (Bandung: Mizan, 2010), hlm.
25.
[3] Yusuf Qardhawi, Fiqh Al-Jihad: Dirasah
Muqaranah Li Ahkamihi Wa Falsafatihi Fi Dhau’ Al-Qur’an Wa As-Sunnah, terj.
Irfan Maulana Hakim & Arif Munandar Ruswanto,... hlm. 26.
[4] Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Dinul Islam), terj. R. Kaelan, H. M. Bachrun, (Jakarta:
Darul Kutubil Islamiyah, 1996), hlm. 646-649.
[5] Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizqi
Putra, 2007), hlm. 413-414.
[6] Said Hawwa, Al-Islam, terj. Abdul Hayyie Al Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hlm. 644-645.
[7] Yusuf Qardhawi, Fiqh Al-Jihad: Dirasah
Muqaranah Li Ahkamihi Wa Falsafatihi Fi Dhau’ Al-Qur’an Wa As-Sunnah, terj.
Irfan Maulana Hakim & Arif Munandar Ruswanto,... hlm. 481-482.
[8] Yusuf Qardhawi, Fiqh Al-Jihad: Dirasah
Muqaranah Li Ahkamihi Wa Falsafatihi Fi Dhau’ Al-Qur’an Wa As-Sunnah, terj.
Irfan Maulana Hakim & Arif Munandar Ruswanto,... hlm. 499.
[9] Yusuf Qardhawi, Fiqh Al-Jihad: Dirasah
Muqaranah Li Ahkamihi Wa Falsafatihi Fi Dhau’ Al-Qur’an Wa As-Sunnah, terj.
Irfan Maulana Hakim & Arif Munandar Ruswanto,... hlm. 502.
[10] Yusuf Qardhawi, Fiqh Al-Jihad: Dirasah
Muqaranah Li Ahkamihi Wa Falsafatihi Fi Dhau’ Al-Qur’an Wa As-Sunnah, terj.
Irfan Maulana Hakim & Arif Munandar Ruswanto,... hlm. 504-505.
[11] Yusuf Qardhawi, Fiqh Al-Jihad: Dirasah
Muqaranah Li Ahkamihi Wa Falsafatihi Fi Dhau’ Al-Qur’an Wa As-Sunnah, terj.
Irfan Maulana Hakim & Arif Munandar Ruswanto,... hlm. 507-508.
[12] Yusuf Qardhawi, Fiqh Al-Jihad: Dirasah
Muqaranah Li Ahkamihi Wa Falsafatihi Fi Dhau’ Al-Qur’an Wa As-Sunnah, terj.
Irfan Maulana Hakim & Arif Munandar Ruswanto,... hlm. 537.
[16] Nizar Abazhah, Perang Muhammad (Kisah
Perjuangan Dan Pertempuran Rasulullah), (Jakarta: Zaman, 2011), hlm.172.
[17] Afzalur Rahman, Nabi Muhammad Sebagai
Seorang Pemimpin Militer, (Jakarta: Amzah, 2006), hlm.148.
Komentar
Posting Komentar