Ulumul Hadits; Hadits secara Tekstual dan Kontekstual
HADIS SECARA TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL
A.
Memahami Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual
Segi-segi yang berkaitan erat dengan diri
Nabi dan suasana yang melatarbelakangi ataupun menyebabkan terjadinya hadis
mempunyai kedudukan penting dalam pemahaman suatu hadis. Mungkin saja suatu
hadis tertentu lebih tepat dipahami secara tersurat (tekstual(, sedang hadis
tertentu lainnya lebih dapat dipahami secara tersirat (kontekstual).
Pemahaman dan penerapan hadis secara
tekstual dilakukan bila hadis yang bersangkutan, setelah dihubungkan dengan
segi-segi yang berkaitan dengannya, misalnya latar belakang terjadinya, tetapi
menurut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadis yang
bersangkutan. Pemahaman dan penerapan hadis secara kontekstual dilakukan bila
“di balik” teks suatu hadis, ada petunjuk yang kuat yang mengharuskan hadis
yang bersangkutan dipahami dan diterapkan tidak sebagai mana maknanya yang
tekstual (tersurat)
Contoh:
اِغْتَسِلُوْامِنْهُ
وَتَوَضَؤُوْافَاِنَّهُ هُوَالطَّهُوْرُمَأُهُ
“Mandilah dan berwudulah kalian dengan air laut tersebut, sebab air
laut itu suci dan bangkainyapun juga halal”
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad. al-Hakim dan al-Baihaqi dari Abu Hurairoh,
dia bekata: “Pada suatu hari kami pernah pergi bersama Nabi SAW, tiba-tiba
datanglah seorang nelayan, seraya bertanya, ya Rasullallah sesungguhnya kami
ini biasa pergi kelaut untuk mencari ikan. Pada waktu kami berlayar sampai ditengah laut kami kadang
bermimpi keluar air mani (junub). Dengan demikian kami tentu
perlu air untuk mandi dan berwudlu. Bagaimana jika kami mandi dan berwudlu
menggunakan air laut? Sebab jika kami mandi dan berwudlu menggunakan air tawar
yang kami bawa untuk minum tentu kami akan mati kehausan. Nabi kemudian
bersabda sebagai mana dikutip diatas.
Jadi setelah dihubungkan dengan segi-segi
yang berkaitan dengan asbabul wurudnya tadi, Hadis tersebut ternyata tetap
menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis atau tekstual.
Contoh hadis yang harus dipahami secara
kontekstual
اَلْمُؤْمِنُ
يَأْكُلُ فِيْ مَعٍى وَاحِدٍ, وَالكَافِرُيَأْكُلُ فِيْ سَبْعَةِ اَمْعَاءٍ
“Orang yang beriman itu, makan dengan satu
usus (perut), sedang orang kafir makan dengan tujuh usus”,
Secara tekstual hadis tersebut menjelaskan
bahwa usus orang beriman berbeda dengan orang kafir. Padahal pada kenyataannya
yang lazim, perbedaan anatomi tubuh manusia tidak
disebabkan oleh perbedaan iman seseorang. Dengan demikian pernyataan hadis itu
merupakan ungkapan simbolik. Itu berarti hadis diatas harus dipahami secara
kontekstual.
Perbedaan usus dalam matan hadis tersebut
menunjukkan perbedaan sikap atau pandangan dalam menghadapi nikmat Allah,
termasuk tatkala makan. Orang yang beriman memandang makan bukan sebagai tujuan
hidup, sedang orang kafir menempatkan makan sebagai bagian dari tujuan
hidupnya. Karenanya, orang yang beriman mestinya tidak banyak menuntut dalam
kelezatan makan, yang banyak menuntut kelezatan makan pada umumnya adalah
orang kafir. Disamping itu dapat dipahami juga bahwa orang yang beriman selalu
bersyukur dalam menerima nikmat Allah, termasuk tatkala makan. Sedang orang
kafir mengingkari nikmat Allah yang dikaruniakan kepadanya.
B.
Beberapa Petunjuk dan Ketentuan Umum Untuk Memahami Hadis
1.
Memahami hadis sesuai petunjuk Al-Qur’an
Untuk memahami hadis dengan pemahaman yang benar, jauh dari
penyimpangan, pemalsuan, dan penafsiran yang buruk maka haruslah kita
memahaminya sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an, yaitu, dalam kerangka bimbingan
Ilahi yang pasti benarnya dan tak diragukan keadilannya. Jika Al-Qur’an merupakan dasar yang pertama
dan utama, maka hadis adalah penjelasan terperinci tentang isi konstitusi tersebut.
Misalnya hadis mengenai hukum rajam
yang memang pernah ada dan diberlakukan oleh Nabi Muhammad, jika diteliti lebih
lanjut, materi hadis-hadis rajam itu sendiri dikaitkan dengan hukum-hukum yang
terdapat dalam Al-Qur’an, ternyata hal itu tidak sesuai bahkan
bertentangan dengan Al-Quran. Hadis rajam memuat ketentuan hukuman bagi laki-laki
dan perempuan yang berzina muhsan adalah rajam (dilempari batu atau sejenisnya
sampai mati). Jika ketentuan ini dikaitkan dengan ketentuan surat An-Nisa
:25 yang berisi hukum hamba wanita yang telah kawin dan
berbuat zina adalah setengah dari hukuman wanita yang merdeka yang telah
menikah. Maka ketentuan hukum rajam (mati) bagi hamba wanita tidak
mungkin dilakukan, bagaimana mungkin hukuman mati bisa dibagi dua. Akan tetapi, jika surat An-Nisa :25 dikaitkan dengan surat
An-Nur (24):2 (yang
menerangkan bahwa hukuman bagi pezina adalah masing-masing didera 100 kali)
maka dapat
diperoleh hasil yakni 100 kali deraan bagi wanita merdeka dan 50 deraan bagi
wanita hamba sahaya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa, meskipun hadis rajam sahih dan
pelaksanaannya pernah diterapkan Nabi, tetapi melalui telaah historis, hadis
tersebut telah dimansukh oleh Al-Qur’an surat An-Nur ayat 2. Sehingga hadis ini tidak bisa diberlakukan
lagi.
2.
Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama
Untuk berhasil di dalam memahami
As-Sunnah atau hadis secara benar, kita harus menghimpun hadis sahih yang
berkaitan dengan suatu tema tertentu. Dengan cara itu dapatlah dimengerti
maksudnya dengan jelas dan tidak dipertentangkan antara hadis yang satu dengan
yang lainnya.[8] Seringkali Nabi menelurkan
sabdanya dengan memperhatikan keadaan yang beliau hadapi itu kepada seseorang
yang menanyakan. Misal tentang perbuatan terbaik dan disukai
Allah, Nabi menjawab sesuai dengan keadaan pada waktu dan siapa yang bertanya .
Jawaban yang dapat direkam atas pertanyaan yang sama tersebut adalah:
a.
Amal yang paling baik adalah shalat tepat pada waktunya
b.
Amal yang paling baik dan disukai Allah adalah membaca A-Qur’an
sepanjang waktu
c.
Amal yang paling utama adalah menahan diri dari mengganggu dan menyakiti
manusia
d.
Amal yang paling utama adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya
e. Amal yang paling baik adalah memberi makan
kepada fakir miskin dan memberikan salam kepada siapa saja.
Dari kelima arti matan hadis yang dikutip
di atas dapatlah dipahami bahwa amal yang termasuk lebih utama atau lebih
baru itu ternyata bermacam-macam. Dalam pada itu, dapat pula dipahami bahwa
untuk pertanyaan-pertanyaan yang sama (senada), ternyata dapat saja jawabannya
berbeda-berbeda. Perbedaan materi jawaban sesungguhnya tidaklah bersifat
substansif. Yang substantif adalah relevasi antara keadaan orang
yang bertanya dan materi jawaban yang diberikan.
Dengan demikian, jawaban Nabi
atas pertanyaan-pertanyaan yang sama (senada) itu bersifat temporal, tepatnya
kondisional. Dan bukan universal.
3.
Penghubungan atau pentarjihan antara hadis-hadis yang (tampaknya)
bertentangan.
Pada dasarnya, nash-nash syariat tidak
mungkin saling bertentangan sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan
kebenaran. Karena itu, apabila diadakan dengan adanya pertentangan, maka hal itu
hanya dalam tampak luarnya saja .bukan dalam kenyataan yang hakiki.
Apabila penghilangan itu dapat dihapus dengan cara menggabungkan
atau menyesuaikan antara kedua nash, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada,
sehingga kedua-duanya dapat diamalkan, maka yang demikian itu lebih utama dari
pada harus mentarjihkan antara keduanya. Sebab, pentarjihan berarti mengabaikan salah satu dari
keduanya dan mengutamakan yang lain.
Misalnya, hadis yang berisi larangan buang
hajat menghadap kiblat ataupun membelakanginya. Namun dalam hadis yang lain
dinyatakan bahwa Nabi pernah membuang hajat menghadap ke Baitul Maqdis, yang
berarti membelakangi kiblat. Dengan demikian secara tekstual petunjuk kedua
hadis tampak bertentangan.
Menurut penelitian ulama hadis, petunjuk
kedua hadis tersebut tidak bertentangan. Larangan Nabi berlaku bagi yang membuang hajat di lapangan terbuka,
sedang yang melakukan buang hajat di tempat tertutup, misalnya WC, larangan
tidak berlaku. Penyelesaian dalam hal ini ditempuh dengan metode al-jam’u.
Dengan demikian, secara kontekstual kedua
hadis tersebut tidak bertentangan. Larangan dan kebolehan yang dikemukakan
oleh masing-masinghadis bersifat temporal ataupun lokal.
4.
Memahami hadis dengan mempertimbangkan situasi dan kondisinya ketikadiciptakan
Adakalanya suatu hadis berkaitan erat
dengan keadaan yang sedang terjadi. Keadaan tersebut tidak termuat dalam matan
hadis yang bersangkutan. Untuk mengkaji lebih khusus tetang pemahaman hadis
yang berkaitan dengan keadaan yang sedang terjadi atau berkembang, berikut ini
dikemukakan contoh matan hadis.
Misalnya, hadis tentang melukis yang bunyinya
اِنَّ
اَشدَّالنَّاسِ عَذَابًا عِنْدَاللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ المُصَّوِّرُوْنَ
(رواه البخارى ومسلم وغيرهما عن عبدالله بن
مسعود)
“Sesungguhnya orang-orang yang menerima
siksaan yang paling dahsyat di hadirat Allah pada hari kiamat kelak adalah
pelukis.”
Secara tekstual hadis tersebut memberikan
pengertian larangan untukmelukis, bahkan dalam hadis lain para
pelukis hari kiamat kelak dituntut untuk memberikan nyawa kepada apa yang
dilukiskannya di dunia. Malaikat juga tidak akan masuk rumah yang didalamnya
ada lukisannya.
Larangan melukis dan memajang lukisan yang dikemukakan Nabi itu sesungguhnya
mempunyai latar belakang hukum (illat al-hukum). Pada zaman Nabi,
masyarakat belum lama terlepas dari kepercayaan menyekutukan Allah, yakni
penyembahan patung dan semacamnya. Dalam kepastianya sebagai Rasulullah, Nabi
Muhammad berusaha keras agar umat islam telepas dari kemusyrikan tersebut.
Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mengeluarkan larangan memproduksi
dan memajang lukisan.
Kalau illat al hukumnya demikian, maka pada saat umat islam tidak
lagi dikhawatirkan terjerumus kedalam kemusyrikan, khususnya dalam bentuk
penyembahan terhadap lukisan, maka membuat dan memajangnya diperbolehkan.
Kaidah usul fiqih menyatakan, hukum itu ditentukan oleh ilatnya (latar
belakangnya), bila illatnya ada maka hukumnya ada. Dan bila illatnya sudah tidak ada, maka
hukumnya juga tidak ada.
5.
Membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan yang bersifatmajaz/kiasan
Ungkapan dalam bentuk majaz atau kiasan banyak
sekali digunakan dalam bahasa Arab. Dalam ilmu-ilmu balaghah dinyatakan bahwa
ungkapan dalam bentuk majaz, lebih terkesan dari pada ungkapan dalam bentuk
biasa. Sedangkan Rasulullah SAW adalah seorang yang berbahasa arab yang paling
menguasai balaghah. Maka tak mengherankan apabila dalam hadis-hadisnya beliau
banyak menggunakan majaz, yang mengungkap maksud beliau dengan cara sangat
mengesankan.
Misalnya hadis
اَلْمُؤْمِنُ
لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا (رواه البخارى ومسلم
وغيرهما)
“Orang yang beriman terhadap orang yang
beriman lainnya ibarat bangunan, bagian yang satu memperkokoh bagian yang
lainnya.”
Hadis Nabi tersebut mengemukakan tamsil
tasybih bagi orang-orang yang beriman sebagai bangunan. Tasybih tersebut sangat
berlaku tanpa terikat waktu dan tempat. Sebab setiap bangunan pastilah
bagiannya berfungsi memperkokoh bagian-bagian lainnya dan tidak berusaha saling
menjatuhkan.
Tujuan
dari tasybih dalam matan hadis tersebut adalah
a.
Menjelaskan
keadaan musyabbah karena musyabbah tidak
dikenal sifatnya sebelum dijelaskan melalui tasybih (tamsil). Dengan demikian, tasybih itu memberikan
pengertian yang sama dengan sifat tersebut.
b.
Tasykhih (Personifikasi), yaitu penggambaran benda mati
menjadi benda hidup seperti adanya bangunan (benda mati) dapat saling
memperkokoh yang seolah-olah memiliki tangan atau kekuatan (personifikasi).
Dengan adanya personifikasi ini, maka hadis menjadi menyentuh perasaan dan
sangat mendalam.
6.
Memahami hadis nabi yang berupa ungkapan simbolik.
Sebagai mana halnya dalam Al-Qur’an, dalam
hadis Nabi juga dikenal adanya ungkapan yang berbentuk simbolik. Penetapan
bahwa ungkapan satu ayat ataupun satu hadis berbentuk simbolik adakalanya
mengundang perbedaan pendapat. Bagi yang berpegang pada kenyataan secara
tekstual, maka ungkapan yang bersangkutan dinyatakan sebagai bukan simbolik.
Misalnya hadis yang berbunyi:
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالى كُلَّ لَيْلَةٍ اِلَى
السَّمَاءِالدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ الَّيْلِ الْاَخِرِ يَقُوْلُ:مَنْ
يَدْعُوْنِيْ فَاَسْتَجِبُ لَهُ مَنْ يَسْأَلَنِيْ فَاُعْطِيْهِ مَنْ
يَسْتَغْفِرْنِيْ فَاَغْفِرُلَهُ
“Tuhan kita (Allah) Tabaroka Wa Ta’ala setiap malam turun ke
langit dunia pada saat malam di pertiga akhir (Allah) berfirman, “Barang siapa
yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan doanya itu, barang siapa meminta
(sesuatu) kepada-Ku niscaya aku memberinya, (dan) barang siapa minta ampun
kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya”
Ulama yang memahami petunjuk hadis secara tekstual berpendapat
bahwa matan hadis tersebut berkualitas lemah (dla’if) bahkan palsu sebab Allah
digambarkan sebagai naik turun ke langit dunia. Itu berarti, Allah disamakan dengan
makhluk. Padahal matan hadis tersebut berkualitas sahih bila dipahami
secara kontekstual.
Maksud matan hadis yang menyebutkan bahwa
Allah turun ke langit dunia adalah limpahan rahmat-Nya. Malam pertiga
akhir dipilih karena saat yang demikian itu adalah saat yang mudah untuk
memperoleh suasana khusyu’ dalam berdoa dan beribadah salat
dalam keadaan yang penuh kekhusyukan itu, maka kehadiran limpahan rahmat Allah
mudah diperoleh.
Dengan pemahaman tersebut tidaklah berarti
bahwa rahmat Allah tidak turun diluar waktu malam pertiga akhir. Nabi menyebut
waktu tertentu itu dengan maksud untuk menunjukkan kekhususannya.
7.
Memahami hadis dengan mempertimbangkan sebab secara khusus, (asbabul wurud) jika ada.
Secara etimologis, “asbabul wurud” merupakan susunan idhafah yang
berasal dari kata “asbab” jamak dari “sabab” yang
berarti “segala sesuatu yang dapat menghubungkan kepada sesuatu yang
lain” atau “penyebab terjadinya sesuatu”. Sedangkan “wurud” merupakan bentuk isim masdar dari warada,yaridu, wurudan yang
berarti datang atau sampai. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa asbabul wurud adalah konteks historisitas, baik berupa
peristiwa atau pertanyaan atau lainnya yang terjadi pada saat hadis itu
disampaikan.[19]
Memahami hadis dengan memperhatikan
sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis sangat
penting.
Contoh:
اَنْتُمْ
اَعْلَمُ بِاُمُرِالدُّنْيَاكُمْ (رواه مسلم عن أنس)
"Kamu sekalian lebih mengetahui tentang
urusan duniamu”
(Hadis Riwayat Muslim dari Anas)
Hadis tersebut memepunyai sebab wurud
(sebab mendahului terjadinya hadis). Pada satu saat, Nabi lewat dihadapan para
petani yang sedang mengawinkan serbuk (kurma pejantan) ke putik (kurma betina).
Nabi berkomentar: “Sekiranya kamu sekalian tidak melakukan hal itu, niscaya
kurmamu akan lebih baik.” Mendengar komentar itu, para petani lalu tidak
lagi mengawinkan kurma mereka. Setelah beberapa lama, Nabi lewat kembali
ketempat itu dan menegur para petani: “Mengapa pohon kurma itu?” Para
petani lalu melaporkan apa yang telah dialami kurma mereka, yakni banyak yang
tidak jadi. Mendengar keterangan mereka itu, Nabi lalu bersabda sebagai mana
dikutip diatas.
Banyak kalangan yang memahami hadis
tersebut secara tekstual. Mereka mengatakan bahwa Nabi tidak mengetahui banyak
tentang urusan dunia itu kepada para sahabat (umat islam). Adapun yang
berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk hadis itu, maka islam membagi kegiatan
hidup yakni kegiatan dunia dan kegiatan agama. Padahal, dalam sejarah, Nabi
telah berkali-kali memimpin peperangan dan menang. Perang yang dilakukan Nabi
adalah urusan dunia disamping sebagai urusan agama. Nabi juga berdagang dan
berhasil. Dan dagang adalah urusan dunia.
Jadi, hadis tersebut, sesungguhnya tidaklah
menyatakan bahwa Nabi sama sekali buta tehadap urusan dunia. Kata dunia yang
termuat dalam hadis tersebut lebih tepat diartikan sebagai profesi atau bidang
keahlian. Dengan demikian, maksud hadis itu adalah bahwa Nabi tidak memiliki
keahlian sebagai petani, karena para petani lebih mengetahui tentang dunia
pertanian dari pada Nabi.
Hadis tersebut dikemukakan oleh Nabi kepada
para pedagang, para pasukan perang, dan para pengembala kambing sebab dalam
kegiatan-kegiatan dagang, perang, dan pengembala kambing. Nabi memiliki
keahlian. Dengan demikian, yang harus diterapkan terhadap hadis ini adalah
pemahaman secara kontekstual bukan secara tekstual.
Komentar
Posting Komentar