ULUMUL HADITS; SISTEMATIKA PEMBAGIAN HADIST DARI SEGI KUALITAS

SISTEMATIKA PEMBAGIAN HADIST DARI SEGI KUALITAS[1]

 

I.                    PENDAHULUAN

Pembagian hadist dilihat dari kualitasnya tidak terlepas dari pembahasan mengenai pembagian hadist ditinjau dari segi kuantitasnya, yakni dibagi menjadi hadist muttawatir dan hadist ahad. Hadist muttawatir memberikan pengertian bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar bersabda, berbuat, menyatakan iqrar-nya dihadapan para sahabat, berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka bersama-sama sepakat berbuat dusta kepada Rasulullah SAW. Oleh karena kebenaran sumber-sumbernya benar-benar telah menyakinkan, maka ia harus diterima dan diamalkan dengan tanpa mengadakan penelitian dan penyelidikan, baik terhadap sanad dan matannya. Berbeda dengan hadist ahad yang hanya memberikan faedah dzhan-nya (prasangka yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kepada kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap sanad maupun matannya, sehingga status hadist ahad tersebut menjadi jelas “apakah dapat diterima sebagai  hujjah atau ditolak”. Dari persoalan inilah, para Ulama ahli hadist kemudian membagi hadist, ditinjau dari segi kualitasnnya menjadi dua, yaitu hadist maqbul dan hadist mardud.

 

II.                 PEMBAHASAN

A.     Pengertian Hadist Shahih

Sahih menurut bahasa lawan dari kata Saqim (sakit). Kata shahih juga telah menjadi kosa kata bahasa Indonesia dengan arti “sah, benar, sempurna, pasti”. Pengertian hadist shahih secara definitif belum dinyatakan oleh ahli hadist dari kalangan al-muttaqaddimin. Pada umumnya mereka hanya menjelaskan mengenai kriteria penerimaan hadist yang dapat dipegangi. Diantara pernyataan mereka adalah “Tidak diterima suatu periwayatan suatu hadist kecuali yang bersumber dari orang-orang yang tsiqqah, tidak diterima suatu periwayatan hadist  yang bersumber dari orang-orang yang tidak dikenal memiliki pengetahuan hadist, dusta, mengikuti hawa nafsu, dan orang-orang yang ditolak kesaksiannya”.

Menurut Ibnu Al-Shalah, hadist shahih adalah hadist musnad yang bersambung sanadnya dengan periwayatan oleh orang yang adil-dhabith dari orang yang adil lagi dhabith juga hingga akhir sanad, serta tidak ada yang janggal dan cacat.

Definisi yang lebih ringkas dinyatakan oleh Al-Suyuthi, yaitu Hadist yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabit, tidak syazd dan tidak ber’illat.

 

B.      Syarat-syarat Hadis Shahih Menurut Imam Bukhori dan Imam Muslim

Imam Bukhari dan Imam Muslim, sebagai tokoh ahli hadis dan hadis-hadis yang di riwayatkannya diakui sebagai hadis yang shahih, ternyata juga belum membuat definisi hadis shahih secara tegas. Namun setelah para ulama mengadakan penelitian mengenai cara-cara ditempuh keduanya untuk menetapkan suatu hadis yang bisa dijadikan hujjah, diperoleh suatu gambaran mengenai kriteria hadis shahih menurut keduanya.[2]

Kriteria-kriteria yang dimaksud adalah:

1.        Rangkaian perawinya dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir.

2.       Perawinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal tsiqqah, dalam arti ‘adil dan dhabit.

3.       Hadisnya terhindar dari ‘illat (cacat) dan syadz (janggal).

4.       Perawinya yang terdekat dalam sanad harus sezaman. Hanya saja antara keduanya terjadi perbedaan pendapat mengenai persambungan sanad.

 Menurut Bukhari, sanad hadis dikatakan bersambung apabila antara perawi yang terdekat itu pernah bertemu, sekalipun hanya satu kali. Jadi tidak cukup hanya sezaman (al-mu’asharah). Sedangkan menurut Muslim, apabila antara perawi yang terdekat hidup sezaman sudah dikategorikan bersambung.[3]

Disamping persyaratan yang telah disepakati sebagaimana di atas, ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa Bukhari juga menetapkan syarat “terjadinya periwayatan harus dengan cara Al-sama’”.[4] Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa persyaratan hadis shahih yang ditetapkan oleh Imam Bukhari lebih ketat daripada persyaratan yang ditetapkan oleh Muslim.

 

C.     Makna Mutassilussanad, Rawi, Tsiqah Rawi, Syadz dan Illat Perawi

Ada 5 sifat yang harus dimiliki oleh suatu hadis agar dapat dikategorikan sebagai hadis shahih yaitu sebagai berikut :

1.       Bersambung sanadnya (Mutassilussanad)

Yang dimaksud dengan ketersambungan sanad adalah bahwa setiap rawi hadis yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada diatasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara pertama. Konsekuensinya, definisi ini tidak mencakup hadis mursal dan munqathi’ dalam berbagai variasinya.

Sanad suatu hadis dianggap tidak bersambung apabila terputus salah seorang atau lebih dari rangkaian para rawinya. Boleh jadi rawi yang dianggap putus itu adalah seorang rawi yang dhaif, sehingga hadis yang bersangkutan tidak sahih.

 

2.       Keadilan para rawinya

Uraian arti adil dan perincian syarat-syaratnya telah disebutkan di muka. Keadilan rawi merupakan faktor penentu bagi diterimanya suatu riwayat, karena keadilan itu merupakan suatu sifat yang mendorong seseorang untuk bertakwa dan mengekangnya dari berbuat maksiat, dusta , dan hal-hal lain yang merusak harga diri (muru’ah) seseorang.

Dengan persyaratan ini, maka definisi diatas tidak mencakup hadis maudhu dan hadis-hadis dhaif yang disebabkan rawinya dituduh fasik, rusak muru’ah-nya, dan sebagainya.

 

3.       Ke-dhabith-an para rawinya

Yang dimaksud dengan dhabith adalah bahwa rawi hadis yang bersangkutan dapat menguasai hadisnya dengan baik, baik dengan hafalannya yang kuat ataupun dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya. Persyaratan ini menghendaki agar seorang rawi tidak melalaikannya dan tidak semaunya ketika menerima dan menyampaikannya, dan sebagainya, sebagaimana yang kami sebutkan dalam pembahasan tentang tentang ke-dhabith-an dan dalam riwayah.

 

 

 

4.       Tidak rancu

Kerancuan (syudzudz) adalah suatu kondisi dimana seorang rawi berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap rancu, karena apabila ia berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat  posisinya, baik dari segi kekuatan daya hafalnya atau jumlah mereka lebih banyak, para rawi yang lain itu harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadzdz atau rancu. Dan karena kerancuannya maka timbullah penilaian negatif terhadap periwayatan hadis yang bersangkutan.

Sebenarnya kerancuan suatu hadis itu akan hilang dengan terpenuhinya tiga syarat sebelumnya, karena para ahli hadis menganggap bahwa ke-dhabith-an telah mencakup potensi kemampuan rawi yang berkaitan dengan sejumlah hadis yang dikuasainya. Boleh jadi terjadi kekurangpastian dalam  salah satu hadisnya, tanpa harus kehilangan predikat ke-dhabith-annya sehubungan dengan hadis-hadisnya yang lain. Kekurangpastian tersebut hanya mengurangi kesahihan hadis yang dicurigai saja.

 

5.       Tidak ada cacat

Maksudnya adalah bahwa hadis yang bersangkutan terbebas dari cacat kesahihannnya. Yakni hadis itu terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya cacat, meskipun tampak bahwa hadis itu tidak menunjukan adanya cacat-cacat tersebut. Dengan kriteria ini maka definisi di atas tidak mencakup hadis mu’allal bercacat. Jadi hadis yang mengandung cacat itu bukan hadis sahih.

Rasionalisasi kebenaran lima syarat tersebut sebagai ukuran kesahihan hadis adalah bahwa faktor  keadilan dan  ke-dhabith-an rawi dapat menjamin keaslian hadis yang diriwayatkan seperti keadaanya ketika hadis itu diterima dari orang yang mengucapkannya. Bersambungnya sanad dengan para rawinya yang kondisinya demikian akan dapat menghindarkan tercemarnya hadis yang bersangkutan dalam perjalanannya dari Rasulullah SAW sampai rawi terakhir.

Tidak adanya kejanggalan dalam matan atau sanad itu merupakan bukti keaslian dan ketepatan hadis yang bersangkutan serta menunjukan bahwa padanya tidak terdapat hal-hal yang mencurigakan. Tidak adanya cacat menunjukan keselamatan hadis yang bersangkutan dari hal-hal samar membuatnya cacat setelah dihadapkan pada syarat-syarat kesahihan lainnya yang berfungsi untuk meneliti faktor-faktor kecacatan lahiriah. Dengan demikian jelaslah bahwa hadis yang bersangkutan sahih, karena telah terpenuhinya faktor kesahihan riwayat dan terbebasnya hadis tersebut dari hal-hal yang bisa membuatnya cacat, baik yang samar maupun yang tampak.[5]

 

D.     Dalil Keshahihan Sebuah Hadist

Hadist shahih dibagi menjadi dua, yaitu: Hadits shahih li-ghairihi  yaitu hadits shahih yang belum memenuhi syarat hadits shahih ligairihi dan jika syarat kedhabitan seorang perawi kurang sempurna maka turun dalilnya menjadi hadits hasan li-dzatihi.

Sedangkan hadits hasan li-dzatihi bisa naik nilainya menajdi shahih li-ghairih apabila juga diriwayatkan melalu jalur sanad lain yang serupa atau yang lebih kuat, karena keshahihannya tidak disebabkan dari sanadnya itu sendiri, namun karena tergabungnya sanad lain tersebut. Contoh hadist ini adalah:

حَدَثَنَا اَحْمَدُ اِبْنُ مَنِيْعُ حَدَثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ يَزِيْدَ بْنِ اَبِيْ زِيَادِعَنْ عَبْدِ الرّحْمَنُ بْنُ اَبِيْ لَيْلِيْ  عَنْ  اَلْبَرَاءِ بْن عَازِبٍ قَالَ : رَسُوْلُ اللهِ صَلَي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقًّا عَلَى الْمُسْلِمِيْنُ اَنْ يَغْتَسِلُوْا يَوْمَ الْجُمُعَةِ

Artinya: “Telah menceritakan Ahmad bin Mani’, telah menceritakan kepada kami Husyaim, dari Yazid bin Abi Ziyad, dari Abdurrahman bin Abu Laila, dari al-Bara’ bin Azib, ia berkata telah bersabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya suatu kewajiban atas orang-orang Islam melakukan mandi di hari jum’at“.

 

Tingkat keshahihan dengan sendirinya tanpa dukungan hadist lain yang menguatkannya.

Contoh hadist shahih lidzati: hadits riwayat Muhammad bin ‘Amr dari Abi Salmah dari Abu Hurairah ra:

رَسُوْلَالله صَلَّى اللهمَّ عّلّيْهِ وّسّلَّمَ يّقُوْلُ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لِأَمَرْتُهُمْ بِا لسِّوَاكِ عِنْدَ كُلَّ صّلَاة

Artinya: Bahwa Rasulullah saw., telah bersabda: seandainya saya telah khawatir menyusahkan umatku, tentu saya menyuruh mereka menyikat gigi (bersiwak) setiap akan shalat”.

 

III.              PENUTUP

Penjelasan di atas dapat disimpulkan, Pengertian Hadist Shahih adalah “Shahih ( صحيح)” adalah bahasa arab, lawannya adalah “Saqiim” (سقيم), artinya “ sakit” dan menjadi bahasa indonesia dengan arti “ sah, benar, sempurna, sehat”. Persyaratan Hadits Shahih, yaitu: Diriwayatkan oleh para pe-rawi yang Adil, Ke-dhabit-an pe-rawi-nya Sempurna, Antara Sanad- sanadnya harus Muttashil, Tidak ada cacat atau illat, Tidak janggal atau Syadzdz.

Syarat hadis tmenurut Bukhori dan Muslim adalah Rangkaian perawinya dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir, Perawinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal tsiqqat, dalam arti ‘adil dan dhabit., Hadisnya terhindar dari ‘illat (cacat) dan syadz (janggal), Perawinya yang terdekat dalam sanad harus sezaman. Hanya saja antara keduanya terjadi perbedaan pendapat mengenai persambungan sanad. Allahu a’lam bish-showab



[1]Ulumul Hadist, kelas PAI 1D, Dr.IkhromM.Ag, oleh: Afni Umami Putri(1403016130), Awwalina Zumala Imroati(1403016162), Muthoharoh(1403016143), Semarang,1 Oktober 2014.

[2] Mahmud al-Tahhan, op.cit., hlm. 43.

[3]Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam jilid I, op.cit., hlm.12, Badr Al-Din Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad Al-‘Ayni’Umdat Al-Qari Syarh Shahih Bukhari, (Kairo: Muhammad Amin Damaj, t.t.), hlm. 5.

[4] Al-Suyuthi, juz I, op.cit., hlm.70.

[5]Nuruddin, Ulumul Hadis, (PT Remaja Rosda Karya, Bandung.), hlm. 241.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fiqh Siyasah; Perang dan Damai dalam Islam

7 (Tujuh) Ayat "Salam" dalam Al Qur'an

TARIF RETRIBUSI WISATA RELIGI