Ushul Fiqh; QIYAS
QIYAS[1]
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Syari’at Islam merupakan Syari’at
yang terakhir dan penutup syari’at yang diturunkan oleh Allah swt. Nash
Al-Qur’an dan sunnah sebagai nash yang menjadi sumber hukum utama dan nash
tersebut bersifat terbatas jumlahnya,tidak akan bertambah lagi, karena telah
berakhir masa turunnya setelah wafatnya Rasulullah SAW. Sementara itu, sejalan
dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan, tekhnologi, dan kebudayaan
manusia dari zaman ke zaman, persoalan-persoalan yang timbul semakin lama
semakin beragam dan kompleks. Untuk itu butuh kejelasan hukum agar mendapat
jawaban atas permasalahan yang berkembang. Keadaan itu berjalan terus- menerus
tanpa batas. Nash al-Qur’an dan sunnah yang sifatnya terbatas tidak akan mampu
menjawab persoalan-persoalan hukum yang sifatnya tidak terbatas, kecuali dengan
cara memahami illat yang menjadi dasar penetapan hukum syara’ yang telah lebih
dahulu ada nashnya. Dan kemudian menerapkan hukumnya pada persoalan-persoalan
hukum yang tidak ada nashnya dengan cara qiyas.
Dengan cara qiyas-lah syari’at Islam
menjadi tetap relevan pada setiap waktu dan tempat. Dapat memenuhi kebutuhan
dan kemaslahatan hukum manusia, namun ada sebagian golongan yang menolak qiyas
sebagai landasan untuk berhujjah hukum Islam. Menolak qiyas sebagai dalil hukum
sama artinya dengan menganggap bahwa Islam sebagai syari’at yang stagnan dan
jumud, serta mencela Islam sebagai agama yang tidak dapat memenuhi kebutuhan
manusia terhadap hukum. Berdasarkan alasan-alasan diatas jumhur ulama’ sepakat
untuk menetapkan qiyas sebagai landasan hukum yang keempat setelah Al-Qur’an,
sunnah dan Al-Ijma’.Maka pada makalah ini akan di uraikan lebih mendalam
mengenai qiyas, contoh qiyas, macam-macamnya dsb.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa definisi dari qiyas ?
2.
Bagaimana rukunqiyas itu sendiri?
3.
Bagaimana macam-macam qiyas ?
4.
Apakah boleh berhujjah menggunakan qiyas?
II. PEMBAHASAN
A.
Definisi Qiyas
Secara bahasa Qiyas mempunyai
beberapa makna, diantaranya yaitu Qiyas bermaknamengukur,membandingkan dan menyamakan
(al-Musawah). Jadi mengetahui tentang ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan
sesuatu dengan yang sejenisnya.[2]
Sedangkan menurut ahli ilmu Ushul fiqih adalah mempermasalahkan suatu kasus
yang tidak ada hukumnya dengan suatu kasus yang ada hukumnya, dan hukum yang
ada nashnya, karena persamaan kedua itu dalam illat hukumnya.
Artinya: Menyamakan atau mengukur satu kejadian yang
tidak ada nash tentang hukumnya dengan kejadian yang ada nash tentang hukumnya
di dalam hukum yang disebutkan di dalam nash karena ada kesamaan antara dua
kejadian itu di dalam illat hukum tersebut.[3]
Beberapa definisi qiyas menurut
ulama’ ahli ushul fiqih :
a.
Menurut Abu Al-Husain Muhammad Al- Bisri
b.
Menurut Ibnu al-Hajib
“
persamaan far’u dengan asl dalam hal ‘illah hukumnya
c.
Menurut Saifuddin al- Hamidi
“ persamaan antara far’un dan asl-un dalam hal ‘illah yang
disimpulkan dari hukum yang terdapat pada asl-un.
d.
Menurut Abu Hamid Muhammad al- Ghazali
“Menghubungkan sesuatu kepada
sesuatu yang lain perihal ada atau tidak adanya hukum berdasarkan usur yang
mempersatukan keduanya, baik berupa penetapan Mupun peniadaan hukum/sifat
keduanya.
Maka apabila suatu
nash telah menunjukkan hukum mengenai suatu kasus dan illat hukum itu telah
diketahui melalui salah satu metode untuk mengetahui illat hukum, kemudian ada
kasus lainnya yang sama dengan kasus yang ada nashnya itu di dalam suatu ‘illat
yang illat hukum itu juga terhadap pada
kasus itu. Maka kasus itu disamakan dengan hukum kasus yang ada nashnya,
berdasarkan persamaan illat , karena sesungguhnya hukum itu ada dimana hukum
illat itu ada.[4]
Analisis:Jadi
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud qiyas yaitu salah satu cara atau metode
istimbath hukum dalam islam yang digunakan oleh seorang mujtahid dalam
menetapkan suatu hukum yang belum ada ketetapan dari nash dengan menggunakan
ra’yi namun tidak terlepas dari nash (Alqur’an dan Hadits). Qiyas di gali dengan cara menyamakan atau mengukur satu kejadian yang
tidak ada nash tentang hukumnya dengan kejadian yang ada nash tentang hukumnya
di dalam hukum yang disebutkan di dalam nash karena ada kesamaan antara dua
kejadian itu di dalam illat hukum tertentu. Dari beberapa definisi tentang qiyas diatas terdapat sedikit
perbedaan , boleh jadi perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan pandangan
diantara para ulama’ ushul fiqih tentang
qiyas, apakah ia sebagai dalil syara’ yang independen ataukah ia
merupakan olah kerja seorang mujtahid semata yang bersifat zhanni.
Dari beberapa definisi diatas dapat dijelaskan
beberapa hal :
1. Suatu peristiwa, perbuatan, tindakan yang tidak ada
hukumnya atau belum jelas hukumnya baik di dalam Al-qur’an maupun As-sunnah.
Dalam ilmu Ushul Fiqih hal ini disebut Far’un. Suatu peristiwa dapat disebut
far’un apabila: adanya kemudian, adanya kesamaan illat dengan peristiwa yang
akan disamainya. Kejadian yang telah ada ketentuan hukumnya baik di dalam
Al-qur’an maupun sunnah disebut Ashal atau disebut juga Maqiis’alaih yaitu
sesuatu yang akan diqiyaskan kepadanya atau Musyabbah bih yaitu yang akan diserupakan
dengannya.
2. Illat yaitu suatu sifat yang menjadi dasar hukum pada
ashal. Sifat ini pula yang harus ada pada far’un. Haramnya minum khamr adalah
ashal karena ada nash yang menyatakan itu, yaitu firman Allah SWT فَاجْتَنِبُوْهُ (maka jauhilah) karena sifatnya
yang memabukkan. Perasaan anggur adalah far’un yang tidak disebutkan hukumnya
tetapi sifatnya saja yaitu memabukkan. Karena sifatnya sama maka rasa anggur
dan semua makanan dan minuman yang memiliki sifat memabukkan hukumnya disamakan
dengan khamar yaitu haram.
3. Hukum ashal yaitu hukum suatu kejadian yang sudah disebutkan dan akan
ditetapkan bagi far’un karena sama sifatnya (illatnya). Suatu sifat dapat
dijadikan sebagai illat apabila : jelas atau dzonni (dapat dibuktikan), dapat
dibatasi secara pasti sama antara ashal dengan far’un serta munasabah yaitu
dugaan kuat bahwa sifat tersebut merupakan alasan hukum pada ashal, sehingga
adanya menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya mengakibatkan tidak adanya
hukum.
Sebagian dari mereka berpandangan
bahwa qiyas itu dalil yang independen, yang bersanding dengan Al-Quran, Sunnah
dan Ijma’; dan untuk itu, mereka menggunakan term istiwa’ dan musawah atau kata
lain yang semakna menggunakan qiyas. Sebagian berpendapat bahwa qiyas itu
merupakan kerja olah fikir sang mujtahid, dan untuk itu menggunakan term haml,
itsbat, ta’diyah atau radd ketika mendefinisikan qiyas.[5]
B.
Rukun Qiyas
Qiyas tidak bisa terbentuk kecuali
didukung oleh 4 (empat) unsur atau rukun. yaitu diantaraya:
a.
Al-Ashlu, yaitu sesuatu pokok masalah yang sudah jelas
statushukumnya dengan berlandaskan pada nash syara’. Ia juga disebut dengan
maqis alaih (yang di qiyaskan kepadanya), mahmul alaih (yang dijadikan
pertanggungan) dan musyabbah bih ( yang diserupakan dengannya).
Syarat-syarat Ashl diantaranya:
1.
Hukum pokok masih tetap berlaku, artinya tidak di mansukh/ dihapus
2.
Hukum pokok harus hukum syara’
3.
Hukum pokok bukan merupakan hukum pengecualian, misalnya orang yang
berpuasa bisa batal puasanya karena makan/minum kecuali karena lupa. Maka orang
yang dipksa makan/minum dengan sesuatu yang dapat menghilangkankesadarannya
tetap membatalkan puasanya.[6]
b.
Al-Far’u, yaitu suatu masalah yang tidak ditegaskan status hukumnya
di dalam nash syara’ dengan nama lain al-maqis, al-mahmul, dan musyabbah.
Syarat-syarat cabang yaitu :
1.
Cabang tidak memiliki hukum tersendiri yang telah ditetapkan
2.
Illat pada cabang sama dengan illat pada pokok
3.
hukum cabang tidak
mendahului hukum yang ada pada hukum poko
4.
hukum cabang harus sama dengan hukum pokok
c.
Hukum Ashl, yaitu hukum syara’ yang ada nashnya pada al-Ashl
(pokoknya), dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada Al-Far’u (cabangnya).
Syarat-syaratnya, yaitu :
1. Hukum ashal itu hendaklah hukum syara' yang amali yang
telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini diperlukan karena yang akan
ditetapkan itu adalah hukum syara', sedang sandaran hukum syara' itu adalah
nash
2. 'Illat hukum ashal itu adalah 'illat yang dapat
dicapai oleh akal. Jika 'illat hukum ashal itu tidak dapat dicapai oleh akal,
tidaklah mungkin hukum ashal itu digunakan untuk menetapkan hukum pada
peristiwa atau kejadian yang lain (fara') secara qiyas. Sebagaimana diketahui
bahwa syari'at itu ditetapkan untuk kemaslahatan manusia, serta berdasarkan
'illat-'illat yang ada padanya.
3. Hukum ashal itu tidak merupakan hukum pengecualian
atau hukum yang berlaku khusus untuk satu peristiwa atau kejadian tertentu.
d.
Al-Illat, yaitu suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk
hukum pokok, dan berdasarkan adanya keberadaan sifat itu pada cabang (Far’)
maka ia disamakan dengan pokoknya dari segi hukumnya.
Syarat-syarat 'illat
Ada empat macam syarat-syarat yang disepakati ulama,
yaitu:
1. Sifat 'illat itu hendaknya nyata, masih
terjangkau boleh akal dan pancaindera. Hal ini diperlukan karena 'illat itulah
yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada fara'. Seperti sifat
menghabiskan harta anak yatim, terjangkau oleh pancaindera dan akal, bahwa
'illat itu ada pada memakan harta anak yatim (ashal) dan terjangkau pula oleh
pancaindera dan akal bahwa 'illat itu ada pada menjual harta anak yatim
(fara'). Jika sifat 'illat itu samar-samar, kurang jelas dan masih ragu-ragu,
tentulah tidak dapat digunakan untuk menetapkan ada dan tidaknya hukum pada
ashal.
2. Sifat 'illat itu hendaklah pasti,
tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa 'illat itu ada pada fara', karena
asas qiyas itu adalah adanya persamaan illat antara ashal dan fara'. Seperti
pembunuhan sengaja dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan
diwarisinya hakekatnya adalah pasti, karena itu dapat dijadikan dasar qiyas
atas peristiwa pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh penerima wasiat
terhadap orang yang telah memberi wasiat kepadanya.
3. 'Illat harus berupa sifat yang sesuai
dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa keras dugaan bahwa 'illat
itu sesuai dengan hikmah hukumnya. Seperti memabukkan adalah hal yang sesuai
dengan hukum haram minum khamar, karena dalam hukum itu terkandung suatu hikmah
hukum, yaitu memelihara akal dengan menghindarkan diri dari mabuk. Pembunuhan
dengan sengaja adalah sesuai dengan keharusan adanya qishash, karena dalam
qishash itu terkandung suatu hikmah hukum yaitu untuk memelihara kehidupan manusia.
4. 'Illat itu tidak hanya terdapat pada ashal
saja, tetapi haruslah berupa sifat yang dapat pula diterapkan pada
masalah-masalah lain selain dari ashal itu. Seperti hukum-hukum yang khusus
berlaku bagi Nabi Muhammad SAW tidak dijadikan dasar qiyas. Misalnya mengawini
wanita lebih dari empat orang, berupa ketentuan khusus berlaku bagi beliau,
tidak berlaku bagi orang lain. Larangan isteri-isteri Rasulullah saw kawin
dengan laki-Iaki lain setelah beliau meninggal dunia, sedang wanita-wanita lain
dibolehkan.[7]
Analisis:Jadi qiyas tidak akan
terbentuk secara sempurna dan dapat digunakan sebagai landasan dalam
beristimbath hukum dansebagai hujjah kecuali jika semua rukunnya ada. Rukun
qiyas ada empat yaitu:
1. ashl, yaitu pokok permasalahan yang status hukumnya
sudah jelas diterangkan dalam nash alqur’an maupun hadits
2. far’u, yaitu suatu pokok permasalahan yang status
hukumnya tidak tertera dalam nash, jadi perlu di teliti terlebih dahulu apakah
ada illat hukum yang sama dengan hukum yang ada di dalam nash
3. hukum ashl, yaitu
hukum syara’ yang ada nashnya mengenai al-Ashl (pokoknya), dan ia dimaksudkan
untuk menjadi hukum pada Al-Far’u (cabangnya).
4.
illat,yaitu suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum. maka
ia disamakan dengan pokoknya dari segi hukumnya.
jika salah satu dari rukun dari qiyas itu
sendiri tidak ada, maka belum dikatakan sebagai qiyas. Jadi unsur-unsur dari
qiyas tadi harus semua ada. Selain itu juga ada syarat-syarat yang harus
dipenuhi dari masing-masing rukun.
Ada beberapa contoh
qiyas diantaranya, yaitu :
Ø Hukum minuman keras, narkoba dan
sejenisnya
Perlu kita ketahui bersama bahwa mengkonsumsi Narkotika, miras dan
sejenisnya merupakan suatu tindakan yang perlu adanya penerapan hukum. Akan
tetapi pada kenyataanya, di dalam nash al-Qu’an maupun Sunnah nabi tidak
terdapat hukum yang mengatur tentang Narkotika dan sejenisnya, untuk itu perlu
adanya metode qiyas dalam upaya penetapan hukumnya. Karena di dalam nash hanya terdapat
penjelasan mengenai hukum haramnya meminum khamr, seperti yg ada dalam (QS.
Al-Maidah : 90)
اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَلْأَنْصَابُ وَلْأَزْلاَمُ رِجْسٌ
مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ.
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi,
menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu
yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar
kamu mendapat keberuntungan." (al-Mâidah: 90)
Narkoba, miras dan
sejenisnya pada zaman rasulullah dan para sahabat tidak ada namun yang ada
hanya khamr. Khamr di haramkan karena dengan meminumnya dapat membuat orang
mabuk atau dapat menghilangkan kesadaran. Begitu juga dengan Narkoba, dengan
mengkonsumsi narkoba maka seseorang akan mengalami hilang kesadaran dengan
iilat seperti itulah maka narkoba, miras dan sejenisnya yang sifatnya
memabukkan dengan cara mengkonsumsinya seseorang bisa hilang kesadaran. Maka
hukumnya disamakan dengan khamr, yaitu haram.
Al-ashlu |
Al-far’u |
‘illat |
Hukum |
Khamar |
Narkoba |
Memabukkan |
Haram |
Khamar |
Miras |
Memabukkan |
Haram |
Atas dasar persamaan illat
yaitu sama-sama memabukkan dan dapat menghilangkan kesadaran, maka narkoba,
miras dan sejenisnya di hukumi haram.
Ø
Hukum membunuh orang yang mewarisi
Si A telah menerima wasiat dari B bahwa ia akan
menerima sebidang tanah yang telah ditentukan, jika B meninggal dunia. A ingin
segera memperoleh tanah yang diwasiatkan, karena itu dibunuhnyalah B. Timbul
persoalan: Apakah A tetap memperoleh tanah yang diwasiatkan itu?
Untuk menetapkan hukumnya dicarilah kejadian yang lain
yang ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan 'illatnya.
Perbuatan itulalah pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap orang
yang akan diwarisinya, karena ingin segera memperoleh harta warisan.
Sehubungan
dengan itu Rasulullah SAW bersabda:
لاَيَرِثُ الْقَاتِلُ.
Artinya:
"Orang yang membunuh (orang yang akan diwarisinya)
tidak berhak mewarisi." (HR. Tirmidzi)
Karena suatu illat, yaitu bahwasannya membunuh orang yang
mewariskan itu adalah menyegerakan sesuatu sebelum waktunya, maka maksudnya itu
ditolak dan dihukum dengan tidak memperoleh bagian dari harta warisan tersebut.
Selanjutnya pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang menerima wasiat,
didalamnya terdapat illat tersebut, maka ia diqiyaskan dengan pembunuhan yang
dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang ewariskannya, dan orang yang
membunuh pemberi wasiat kepadanya dihalangi oleh haknya menerima barang yang
diwasiatkan itu.
Antara
kedua peristiwa itu ada persamaan 'illatnya, yaitu ingin segera memperoleh
sesuatu sebelum sampai waktu yang ditentukan. Berdasarkan persamaan 'illat itu
dapat ditetapkan hukum bahwa si A haram memperoleh tanah yang diwariskan B
untuknya, karena ia telah membunuh orang yang telah berwasiat untuknya,
sebagaimana orang yang membunuh orang yang akan diwarisinya, diharamkan
memperolah harta warisan dari orang yang telah dibunuhnya.
Ø
Melakukan segala aktivitas pekerjaan setelah adzan jum’at berkumndang
seorang mukmin
yang terus melakukan aktivitas pekerjaannya,
seperti mencangkul di sawah, bekerja di kantor, dan sebagainya ketika telah
mendengar adzan untuk melakukan shalat Jum'at belum ditetapkan hukumnya.
Kemudian dicari perbuatan lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash dan
ada pula persamaan 'illatnya, yaitu terus menerus melakukan jual beli setelah
mendengar adzan Jum'at, yang hukumnya makruh. Berdasar firman AIIah SWT:
.
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman,
apabila diserukan (adzan) untuk sembahyang hari Jum'at, maka hendaklah segera
mengingat Allah (shalat Jum'at) dan meninggalkan jual-beli. Yang demikian itu
lebih baik untukmu jika kamu mengetahui." (al-Jumu'ah: 9)
Antara kedua pekerjaan itu ada persamaan 'illatnya,
karena itu dapat pula ditetapkan hukum mengerjakan suatu pekerjaan setelah
mendengar adzan Jum'at, yaitu makruh seperti hukum melakukan jual-beli setelah
mendengar adzan Ju'mat.
Dari contoh-contoh di atas dapat dilihat bahwa dalam
melakukan qiyas ada satu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya
sedang tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar hukumnya untuk
menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian itu, dicarilah peristiwa yang
lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kedua peristiwa atau
kejadian itu mempunyai 'illat yang sama pula. Kemudian ditetapkanlah hukum
peristiwa atau kejadian yang pertama sama dengan hukum peristiwa atau kejadian
yang kedua.
C.
Macam-macam Qiyas.[8]
Dilihat dari
kejelasan illatnya, qiyas dibagi menjadi dua bagian.
a.
Qiyas al-Jali (qiyas yang nyata)
Qiyas ini
terdiri dari dua macam yaitu:
1.
Suatu qiyas yang illat hukumnya bersifat nyata karena disebutkan
oleh nash. Contohnya, Al-Qur’an memerintahkan berbuat baik kepada kedua orang
tua dan jangan mengatakan “AH..” kepada keduanya. Larangan tersebut secara
nyata mengandung arti illat larangan menyakiti keduanya. Hukum memukul orang
tua di qiyaskan kepada larangan tersebut karena adanya kesamaan illat yaitu,
sama menyakiti, bahkan memukul lebih utama (awla) untuk dilarang daripada
menyatakankata “AH” .
2.
Suatu qiyas yang illatnya tidak disebutkan dalam nash, tetapi tidak
ada kesamaran untuk mengetahui persamaan illat itu di dalam al-Ashl dan
al-Far’u. Contohnya, mengqiyaskan bolehnya meng-qashr shalat bagi wanita yang
sedang dalam perjalanan,( sebagai al-Far’u), bolehnya laki-laki meng qashr
shalat (sebagai al-Ashl). Tidak ada kesamaran untuk mengetahui bahwa illah qashr
shalat adalah karena dalam perjalanan, bukan karena jenis kelamin. Karena itu
tidak ada kesamaran dalam meng-qiyaskan bolehnya wanita melakukannya kepada
bolehnya laki-laki meng-qashr shalat.
b.
Qiyas al-Khafi (qiyas yang tersembunyi)
Yaitu suatu
qiyas yang illatnya tidalk disebutkan di dalam nash secara nyata, sehingga
untuk menemukan illat hukumnya memerlukan ijtihad. Contohnya mengqiyaskan
larangan tukar menukar beras yang tidak sama takaran atau timbangannya dan
secara kontan yang mengandung riba al-fadhl, dengan gandum atau jali yang
disebutkan dalam hadits Ubadah bin Shamit. Menentukan bahwa illah pada hadits
tersebut adalah melalui ijtihad, karena illahnya tidak disebutkan secara tegas.[9]
Selanjutnya,
ditinjau dari segi kekuatan atau lemahnya illah yang terdapat dalam far’u dibandingkan dengan illat yang ada pada Ashl
macam-macam qiyas ada lima yaitu,
a.
Qiyas Aula yakni qiyas yang ada pada furu’ lebih kuat dari illat
pada pokok. Misalnya kita dilarang berkata “HUS” pada orang tua, maka kita
tidak boleh memukul orang tua, karena HUS itu menyakiti rohani orang tua
sedangkan.
b.
Qiyas Musawi yakni, bila illat pada cabang itu sama bobotnya dengan
illat pada pokok. Misalnya membakar harta anak yatim diqiyaskan dengan memakan
harta anak yatim. Illatnya sama-sama mengurangi/menghilangkan harta anak yatim.
c.
Qiyas Dalalah, yakni qiyas
yang menunjukkan dua perkara yang serupa satu sama lain, bahwa illat didalamnya
menunjukkan adanya hukum, tetapi illat
itu tidak mengharuskan adanya hukum. Misalnya, zakat bagi anak yatim yang kaya,
diqiyaskan dengan orang dewasa yang kaya. Orang kaya wajib berzakat, sedangkan
anak kecil belum tamyiz belum terkena taklif (beban hukum) wajib melakukan
syari’at Islam. Imam Syafi’i mewajibkan zakat bagi anak yatim tersebut dengan
diqiyaskan orang kaya (dewasa) wajib zakat karena zakat berfungsi sosial,
sementara Imam Hanafi tidak mewajibkannya, karena beban hukum hanya dikenakan
bagi orang Islam yang sudah tamyis artinya sudah Mukallaf.
d.
Qiyas Shibih, yakni
mengqiyaskan furu’ pada dua pokok, illat dicari diantara kedua pokok tersebut
yang paling cocok. Misalnya, mendoakan orang kafir yang menyumbang harta untuk
kepentingan sosial Islam. Hukum pokok pertama Nabi dilarang melarang mendoakan
Abu Tholib sekalipun berjasa bagi kehidupan beliau. Hukum pokok kedua : kita
wajib berterima kasih kepada orang yang lain yang berjasa. Maka yang lebih
cocok kita tetap haram mendoakan orang yang mati kafir.
e.
Qiyas Adwan, yakni mengqiyaskan hal yang diqiyaskan kepada hukum
yang terhimpun pada hukum tempat mengqiyaskan, seperti mengqiyaskan lelaki
memakai perak kepada memakai emas, karena ada hukum ashl tentang terkumpul pada
haramnya perak dan emas digunakan sebagai tempat air minum.[10]
D.
Kehujjahan Qiyas
Menurut jumhur ulama’ dari kalangan
sahabat dan tabi’in menyatakan bahwa
qiyas itu bisa menjadi hujjah.[11]Qiyas
menduduki peringkat keempat diantara hujjah-hujjah syar’iyyah dengan pengertian
apabila dalam suatu kasus tidak ditemukan hukumnya berdasarkan nash (Al-Qur’an
dan Sunnah) dan ijma’ yang diperoleh ketetapan bahwa kasus itu menyamai
kejadian yang ada nash hukumnya dari segi illat hukum ini, maka kasus itu
diqiyaskan dengan kasus tersebut dan ia diberi hukum dengan hukumnya, dan hukum
ini merupakan hukumnya menurut syara’. Dan seorang mukallaf harus mengikuti dan
mengamalkannya. Mereka ini dikatakkan sebagai orang-orang yang menetapkan qiyas
(mutsbitul qiyas).
Sedangkan mazhab Nazhamiyyah,
zhahiriyyah dan sebagian kelompok Syi’ah berpendapat bahwasannya qiyas bukanlah
hujjah syar’iyyah atas hukum. Karena itu mereka sangat menolak adanya qiyas
(naufatul qiyas).[12]
Dalil pendukung qiyas
Ulama’ yang
mendukung qiyas mengemukakan dalil berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, perrkataan
dan tindakan para sahabat serta berdasarkan penalaran. Adapun dalil yang mereka
kemukakan, diantaranya :
1.
Dalil Al-Qur’an
a.
Surat An-Nisa’ ayat 59
Artinya: “
hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya) dan ulil
amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat mengenai sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Melalui ayat diatas Allah swt
memerintahkan, jika terjadi perbedaan pendapat tentang suatu masalah diantara
kaum muslimin, agar mencari penyelesaiannya dengan merujukkannya kepada Allah
(Al-Qur’an) dan Rasul saw (Sunnah). Cara merujukkannya kepada Al-Qur’an dan
Sunnah dengan melalui metode Qiyas.
b.
Surah yasin ayat 78-79
Artinya : dan
dia membuat perumpamaan bagi kami, dan dia lupa kepada kejadiannya, ia berkata
: siapakah yang dapat menghitung tulang-belulang yang telah hancur luluh?
“katakanlah: ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang
pertama, dan dia maha mengetahui tentang segala makhluk.
c.
Surah Al-Hasyrayat : 2
Artinya “ Maka
ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang yang
mempunyai wawasan.
2.
Dalil dari Sunnah
“ dari Ibnu
Abbas ra. Bahwa seorang wanita menghadap rasulullah saw dan bertanya tentang
kewajiban puasa ibunya selama sebulan yang belum ditunaikan ibunya itu: Apakah
saya dapat melaksanakannya atas namanya ? maka Rasulullah balik bertanya: jika
ibumu mempunyai hutang apakah anda akan membayarnya ? wanita itu menjawab:
“benar” Rasulullah saw bersabda “ utang kepada Allah lebih berhak untuk di
lunasi.
Hadits diatas menggambarkan bahwa
rasulullah saw sendiri menjawab pertanyaan dengan cara mengqiyaskan antara
utang dengan sesama manusia dan utang kepada Allah swt. Karena itu, qiyas
merupakan salah satu legal yang dapat dijadikan hujjah dalam beristimbath hukum
Islam.
3.
Dalil dari Atsar ash-Shahabi
Surat umar ra.
kepada abu Musa ra.
“ pahamilah
sebaik-baiknya masalah yang membuat hatimu ragu dan gelisah karena masalah
tersebut tidak sampai informasinya kepadamu (tidak engkau temukan) baik dalam
Al-quran maupun Sunnah, kenalilah
sebaik-baiknya masalah-masalah yang serupa dan mirip dengan ketentuan yang ada.
Kemudian qiyaskanlah (kepadanya) masalah yang engkau hadapi. Kemudian
tetapkanlah berdasaknan apa yang dikuasai Allah dan yang paling mirip dengannya
diantara pendapatmu yang ada.”
Ketika Abu Musa Asy-Asy’ari diangkat
oleh kholifah kedua (Umar ibn Khathab)
menjadi hakim di Yaman, Umar memberikan arahan kepadanya tentang
langkah-langkah yang perlu diambil dalam memutuskan perkara-perkara yang diajukan
kepadanya, terutama perkara-perkara yang tidak terdapat dalam nash yang
mengaturnya secara jelas. Surat umar diatas menegaskan perintah kepadaAbu Musa
Asy-Asy’ari ketika ia tidak menemukan aturan nash dari suatu masalah hukum yang
dihadapinya, untuk mengqiyaskan hukum masalah tersebut kepada hukum masalah
tersebut kepada hukum masalah serupa yang terdapat dalam nash Al-Qur’an ataupun
Sunnah yang mengaturnya, karena adanya kesamaan illatdiantara keduanya.
4.
Dalil dari logika
Ketentuan-ketentuan hukum yang
ditetapkan oleh Allah swt selalu rasional, dapat dipahami tujuannya, dan
didasarkan pada illat untuk mencapai kemaslahatan. Tidak ada satu hukum pun di
dalam Islam yang tidak terdapat kemaslahatan di dalamnya, baik kemaslahatan di
dunia maupun kemaslahatan di akhirat. Sebab kemaslahatan manusialah yang
menjadi tujuan akhir dari setiap ketentuan hukum Islam. Berdaskan hal itu, jika
seorang Mujtahid meyakini bahwa suatu hukum yang terdapat di dalam nash yang
didasarkan atas illat tertentu (di dalam al-Ashl) kemudian ia meyakini pula
adanya illat tersebut pada peristiwa hukum yang tidak ada nash-nya (di dalam
al-Far’u), maka ia wajib menerapkan ketentuan hukum yang ada dalam nash
tersebut kepada peristiwa yang tidak ada nashnya itu.
Imam Syafi’i sebagai orang pertama
yang secara sistematis menguraikan kedudukan qiyas sebagai dalil hukum, ia
menegaskan bahwa di dalam Islam semua ada hukumnya. Sebab syari’at Islam
bersifat umum, mencakup dan mengatur semua peristiwa hukum, baik itu peristiwa
sesuatu yang baik maupun yang buruk, yang dilarang maupun yang dibolehkan.
Menentukan hukum melalui nash adalah jelas. Sedangkan menentukan ketentuan
hukum melalui petunjuk hukum adalah melalui ijtihad, penggalian hukum, maupun
melalui cara menghubungkan dan menyamakan hukum yang memiliki kesamaan illat.
Dalil para penolak qiyas
Diantara kekaburan mereka yang
paling jelas adalah perkataan mereka bahwasannya qiyas didasarkan atas zhann
(dugaan), sebagaimana illat hukum nash ini adalah begini. Sedangkan sesuatu
yang didasarkan atas zhann adalah zhanni (bersifat dugaan juga). Dan Allah
mencela orang-orang yang mengikuti dugaan tersebut. Allah swt, berfirman:
Artinya “ dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentangnya” . (QS. Al-Isra’
:36).
Atas dasar tersebut mereka menolak
qiyas sebagai dasar dalam menentukan hukum Islam. Ini adalah kekaburan yang
lemah, karena sebenarnya yang dilarang adalah mengikuti dugaan di dalam
persoalan aqidah. Adapun dalam persoalan hukum-hukum amaliyyah, maka sebagian
besar dalilnya adalah zhanni. Mereka juga menganggap bahwa qiyas dibangun atas
dasar perbedan pandangan mengenai pemberian illat berbagai hukum. Maka qiyas
merupakan tempat berkobarya perbedaan pendapat dan pertentangannya. Ini
merupakan syubhat yang lebih lemah dari yang sebelumnya, karena sesungguhnya
perbedaan pendapat yang didasarkan atas qiyas bukanlah suatu perbedaan pendapat
mengenai aqidah atau dalam salah satu prinsip agama. Selain dari Al-Qur’an
mereka juga menggunakan hadits sebagai dasar penolakan mereka terhadap qiyas.
Yaitu beberapa ungkapan yang mereka riwayatkan dari sebagian sahabat yang
mencela ra’yu (pendapat) dan mengatakan hukum berdasarkan ra’yu , misalnya
perkataan Umar ra.[13]
Artinya “ jauhkanlah dirimu dari
ahlu ra’yu, karena sesungguhnya mereka adalah musuh-musuh sunnah. Menghafalkan
hadits-hadits membuat mereka kepayahan, sehingga mereka berkata menurut
pendapat (ra’yu) maka mereka sesat dan menyesatkan.
Beberapa riwayat dari sahabat ini
tidak bisa dipertanggungjawabkan, yang tidak dimaksudkan untuk mengingkari
qiyas atau mempergunakannya sebagai hujjah. Yang dimaksudkan hanyalah melarang
untuk mengikuti hawa nafsu dan pendapat yang tidak ada sumbernya dari nash.
Analisis: jumhur ulama’ dari kalangan sahabat, tabi’in dan khususnya dari
kalangan syafi’iyah menjadikan qiyas sebagai landasan hukum dan boleh dijadikan
sebagai hujjah apabila dalam suatu kasus tidak ditemukan hukumnya berdasarkan
nash (Al-Qur’an dan Sunnah) dan ijma’. Maka dicari illatnya yang sama seperti
yang ada di dalam nash, dan kemudian diqiyaskan kepadanya. Dalam hal ini qiyas
sangat berperan penting dalam masalah- masalah yang terbilang masih baru dan
perlu di cari status hukumnya. Hal ini didasarkan pada :
a.)
Alqur’an : surat An-Nisa’ ayat 59, yasin ayat 78-79
b.)
Hadits
c.)
Atsar para sahabat
d.)
logika
akan tetapi ada juga sebagian
golongan yang sangat menolak adanya qiyas yaitu dari mazhab Nazhamiyyah,
zhahiriyyah dan sebagian kelompok Syi’ah berpendapat bahwasannya qiyas bukanlah
hujjah syar’iyyah atas hukum. Seperti dalam nash alqur’an (QS. Al-Isra’ :36).
III.
KESIMPULAN
A.
Definisi qiyas
Qiyas yaituMenyamakan atau
mengukur satu kejadian yang tidak ada nash tentang hukumnya dengan kejadian
yang aa nash tentang hukumnya di dalam hukum yang disebutkan di dalam nash
karena ada kesamaan antara dua kejadian itu di dalam ilat hukum tersebut.
B.
Rukun-rukun qiyas yaitu, diantaranya :
a.
Al-Ashl
b.
Al-Far’u
c.
Hukum Ashl
d.
Illat
C.
Macam-macam qiyas
Dilihat dari
kejelasan illatnya, qiyas dibagi menjadi dua bagian.
a.
Qiyas al-Jali (qiyas yang nyata)
b.
Qiyas al-Khafi (qiyas yang tersembunyi)
Selanjutnya, ditinjau dari segi
kekuatan atau lemahnya illah yang terdapat dalam far’u dibandingkan dengan illat yang ada pada Ashl,
a.
Qiyas Aula
b.
Qiyas Musawi
c.
Qiyas Dalalah
d.
Qiyas Shibih
e.
Qiyas Adwan
D.
Kehujjahan qiyas sebagai sumber hukum Islam
Menurut jumhur ulama’, qiyas
merupakan sumber hukum Islam yang dapat dijadikan sebuah hujjah. Qiyas menepati
urutan keempat dalam istimbath hukum setelah al-Qur’an, sunnah, dan ijma’,
sesuai dalam dalil-dalil, diantaranya, yaitu:
a.
Dalil Al-Qur’an
b.
Dalil dari sunnah
c.
Dalil dari atsar ash-shahabi
d.
Dalil darilogika
Sedangkan mazhab Nazhamiyyah,
zhahiriyyah dan sebagian kelompok Syi’ah berpendapat bahwasannya qiyas bukanlah
hujjah syar’iyyah atas hukum. Seperti dalam nash alqur’an (QS. Al-Isra’ :36).
Artinya “ dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentangnya” . (QS.
Al-Isra’ :36).
[1] Makalah Samsul Hadi (Demak)
[2] Sujarwin,” Ushul Fiqih”, Yogjakarta: Teras, 2012, hlm. 75
[3]http://indonesia.dedeyahya.web.id/pengertian-qiyas-dasar-kehujjahan-qiyas-dan-macamnya
[4]Drs. H. Moh. Zuhri dan Drs. Ahmad Qorib, MA, Ilmu Ushul Fiqih,
Semarang: Dina utama Semarang, 1994, hal. 66
[5]Dr. Asmawi, M.Ag. “Perbandingan Ushul Fiqih, Jakarta, Amzah,
2011, hal. 95
[6]Drs. H. Zen Amiruddin, Msi, “Ushul Fiqih”, Yogjakarta: Teras,
2009, hal. 95-96
[7]http://indonesia.dedeyahya.web.id/pengertian-qiyas-dasar-kehujjahan-qiyas-dan-macamnya
[8]Drs. H. Amiruddin, M.Si, Ushul Fiqih, Yogjakarta, Teras, 2009,
hlm. 97-98
[9]Dr. H. Abd. Rahman, “ Ushul Fiqih”, Jakarta : 2014, Amzah, hal.
[10][10]Drs. H. Zen Amiruddin, Msi, “Ushul Fiqih”, Yogjakarta: Teras,
2009, hal. 97-98.
[11]Drs. H. Zen Amiruddin, Msi, “Ushul Fiqih”, Yogjakarta: Teras,
2009, hal. 100
[12]Drs. H. Moh. Zuhri dan Drs. Ahmad Qorib, MA, “Ilmu Ushul Fiqih”,
Semarang: Dina Utama Ilmu, 1994, hal. 68-69
[13]Prof. Abdul Wahab Kholaf, “Ilmu Ushul Fiqih”, Semarang, Dina
Utama Semarang, 1994, hal. 79
Komentar
Posting Komentar