IBJ; Pondok Pesantren Khalaf di Jawa (Kajian Islam Budaya Jawa)
PONDOK PESANTREN KHALAF DI JAWA
I.
PENDAHULUAN
Sejak semula, pesantren telah dikenal sebagai
lembaga pendidikan Islam, yaitu lembaga yang digunakan untuk penyebaran agama
dan tempat mempelajari agama Islam. Selain itu, pesantren juga merupakan
lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang dianggap sebagai produk budaya
Indonesia. Meskipun pendidikan pesantren merupakan lembaga yang bentuknya
sangat sederhana dalam pendidikan, tetapi
pesantren merupakan satu-satunya lembaga yang terstruktur, karena di lembaga
inilah kaum muslimin Indonesia mendalami doktrin dasar Islam yang menyangkut
keagamaan.
Dengan adanya modernisasi, dunia pesantren
memberikan respon yang berbeda-beda. Sebagian pesantren ada yang menolak campur
tangan dari pemerintah, karena mereka menganggap akan mengancam eksistensi
pendidikan khas pesantren. Tetapi ada juga pesantren yang memberikan respon
adaptif dengan mengadopsi sistem persekolahan yang ada pada pendidikan formal.
Sehingga banyak bermunculan pondok pesantren dengan variasi yang beragam dan
menamakan diri sebagai pondok pesantren modern (khalaf).
II.
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Pondok
pesantren
Asal-usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari
sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Pesantren merupakan lembaga
pendidikan Islam yang unik di Indonesia. Lembaga pendidikan ini telah
berkembang khususnya di Jawa selama berabad-abad. Model pesantren di pulau Jawa, mulai berdiri
dan berkembang bersamaan dengan zaman Walisongo. Karena itu tidak berlebihan
bila dikatakan bahwa pondok pesantren yang pertama didirikan adalah pondok
pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maulana
Maghribi. Syekh Maulana Malik
Ibrahim yang wafat pada 12 Rabi’ul Awal 822 H bertepatan dengan 8 April 1419 M, dikenal sebagai Sunan Gresik yang merupakan orang pertama dari sembilan
wali yang terkenal dalam penyebaran Islam di Jawa. Meskipun begitu, tokoh yang
dianggap berhasil mendirikan dan mengembangkan pondok pesantren dalam arti yang
sesungguhnya adalah Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Ia mendirikan
pesantren di Kembang Kuning, yang pada waktu didirikan hanya memiliki tiga
orang santri, yaitu Wiryosuroyo, Abu Hurairah dan Kyai Bang Kuning.
Kemudian pindah ke Ampel Denta, Surabaya dan mendirikan pondok pesantren
disana. Akhirnya beliau
dikenal dengan sebutan Sunan Ampel.
Misi keagamaan dan
pendidikan Sunan Ampel mencapai sukses, sehingga beliau dikenal oleh masyarakat
majapahit. Kemudian bermuncullah pesantren-pesantren baru yang didirikan ooleh
para santri dan putra beliau. Misalnya pesantren Giri oleh Sunan Giri,
pesantren Demak oleh Raden Fatah dan pesantren Tuban oleh Sunan Bonang. Kedudukan dan
fungsi pesantren saat itu belum sebesar dan sekompleks sekarang. Pada masa
awal, pesantren hanya berfungsi sebagai alat Islamisasi dan
sekaligus memadukan tiga unsur pendidikan yakni: Ibadah untuk menanamkan
iman, tabligh untuk
menyebarkan ilmu, dan amal untuk
mewujudkan kegiatan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari.[3]
Pada sekitar tahun 1476 M, Raden Fatah
membentuk organisasi pendidikan
dakwah Bhayangkari Ishlah (angkatan pelopor kebaikan)
yang merupakan organisasi pendidikan dan pengajaran pertama di Indonesia.
Setelah kerajaan Islam Demak berdiri pada tahun 1500 M, progam kerja Bhayangkari
Ishlah lebih disempurnakan dengan mengadakan tempat-tempat strategis yang
memiliki sebuah masjid dibawah pimpinan seorang badal (pembantu). Tempat-tempat ini menjadi sumber ilmu dan
pusat pendidikan Islam seperti pondok
pesantren. Wali (pemimpin) suatu daerah digelari Sunan dan biasanya diberi tambahan
nama daerahnya, misalnya: Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Gunung
Jati, Sunan
Tembayat, dan Sunan Ngudung. Sedangkan badal diberi gelar resmi Kiai Ageng,
misalnya: Kiai Ageng Selo, Kiai Ageng Gribik, dan Kiai Ageng Tarub.
Rencana dan tata kerja Bhayangkari Ishlah
sebagaimana disebutkan Yunus (1983) adalah:
1.
Tanah Jawa dan
Madura dibagi atas beberapa bagian untuk lapangan pekerjaan bagi pendidikan dan
pengajaran. Pimpinan pekerjaan di tiap-tiap bagian dikepalai oleh seorang wali
dan badal-badalnya.
2.
Supaya mudah
dipahami masyarakat pendidikan dan pengajaran Islam harus diberikan melalui
jalan kebudayaan yang hidup ditengah masyarakat, asal tidak menyalahi hukum syara’.
3.
Para wali dan
badalnya, selain menguasai ilmu agama, juga harus memelihara budi pekerti diri
sendiri dan berakhlak mulia agar menjadi suri tauladan masyarakat
sekitar.
4.
Di Demak
Bintoro harus segera didirikan sebuah Masjid Agung sebagai
sumber ilmu dan pusat kegiatan usaha pendidikan dan pengajaran Islam.
Bhayangkari Ishlah yang disebarkan melalui jalan kebudayaan ini dikendalikan oleh nilai-nilai
Islam yang ketat oleh Walisongo. Sehingga semua cabang kebudayaan nasional saat
itu, seperti filsafat hidup, kesenian, kesusilaan, adat istiadat, ilmu
pengetahuan dan sebagainya, diajarkan di masjid dengan anasir-anasir
pengajaran dan pendidikan Islam (Yunus, 1983).
B.
Model-model
Pesantren
Meskipun setiap Pesantren mempunyai ciri dan
penekanan sendiri, hal itu tidaklah berarti bahwa lembaga-lembaga tersebut
benar-benar berbeda satu sama lain, sebab antara yang satu dengan yang lain
masih saling kait-mengait. Sistem yang digunakan pada suatu pesantren juga diterapkan di pesantren lain,
dan sebaliknya. Karena itu, sebenarnya amat sulit untuk menentukan dan menggolongkan lembaga-lembaga
pesantren dalam tipologi tertentu, misalnya: pesantren salaf dan khalaf atau
pesantren modern tradisional dan modern. Tidak ada dasar bagi penggolongan tersebut,
baik dari segi sistem yang digunakan atau dari model kelembagaanya. Buktinya,
sistem pengajian yang di terapkan pada sebuah pesantren “salaf” ternyata juga
di pakai di pesantren “modern/khalaf”. Begitu pula model kelembagaan pesantren modern
banyak di gunakan di pesantren salaf.
1.
Pesantren
Salaf
Menurut Zamakhsyari Dhofier, pesantren salaf
adalah lembaga pesantren yang mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik (salaf) sebagai inti pendidikan.
Sedangkan sistem madrasah diterapkan hanya untuk memudahkan sistem sorogan yang
dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan
pengajaran pengetahuan umum. Sistem pengajaran pesantren salaf memang lebih
sering menerapkan model sorogan dan weton. Istilah weton berasal dari
bahasa jawa yang berarti waktu. Disebut demikian karena pengajian model ini di
lakukan pada waktu-waktu tertentu,
biasanya sesudah mengerjakan sholat fardhu. Sistem weton atau bendongan
adalah model pengajian yang dilakukan seperti kuliah terbuka yang diikuti oleh
sekelompok santri sejumlah 100-500 orang atau lebih. Sang kiai membaca,
menerjemahkan, menerangkan, dan sekaligus mengulas kitab-kitab salaf berbahasa
arab yang menjadi acuanya. Sedangkan para santri mendengarkan dan memperhatikan
kitabnya sambil menulis arti dan keterangan
tentang kata-kata atau pemikiran
yang sukar. Termasuk dalam kelompok sistem bendongan atau weton ini
adalah halaqah, yaitu model pengajian
yang umumnya dilakukan dengan cara mengitari gurunya. Para santri duduk melingkar untuk mempelajari
atau mendiskusikan suatu masalah tertentu di bawah bimbingan seorang guru.
Sedangkan pada sistem sorogan, para
santri maju satu persatu untuk membaca dan menguraikan isi kitab di hadapan
seorang guru atau kiai. Sistem ini sangat bagus untuk mempercepat sekaligus
mengevaluasi penguasaan santri terhadap kandungan kitab yang dikaji. Akan tetapi, sistem ini membutuhkan kesabaran, ketekunan, ketaatan, dan kedisiplinan yang
tinggi dari para santri. Model ini biasanya hanya diberikan kepada santri
pemula yang memang masih membutuhkkan bimbingan khusus secara intensif. Pada
umumnya pesantren lebih banyak menggunakan model weton karena lebih
cepat dan praktis untuk mengajar banyak santri.
Selain dua sistem tersebut, pesantren salaf
juga kerap menggunakan model musyawaroh. Biasanya materi telah ditentukan lebih
dulu dan para santri dituntut menguasai kitab-kitab rujukan. Kiai memimpin
kelas musyawarah sebagaimana moderator memandu seminar. Model ini lebih
bersifat dialogis, sehingga umumnya hanya diikuti oleh para santri senior.
Tujuanya untuk melatih dan menguji kemampuan dan ketrampilan para santri dalam
menangkap dan memahami sumber-sumber argumentasi dari kitab-kitab Islam klasik
(kitab kuning).
2.
Pesantren Khalaf
(Pesantren Modern)
Pesantren khalaf adalah lembaga
pesantren yang memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum madrasah yang
dikembangkan, atau pesantren yang menyelenggarakan tipe sekolah-sekolah umum
seperti SMP, SMU, dan bahkan perguruan tinggi dalam lingkungannya. Akan tetapi,
tidak berarti pesantren khalaf meninggalkan sistem salaf.
Ternyata hampir semua pesantren modern
meskipun telah menyelenggarakan sekolah-sekolah umum tetap menggunakan sistem salaf
dipondoknya. Misalnya, Pondok Pesantren Bahrul Ulum,
Tambak beras, Lirboyo, Al-Hikmah (Benda). Pesantren
ini menyelenggarkan pendidikan formal yakni dari madrasah Al-Qur’an hingga Muallimin-Muallimat, dan dari
SMP hingga Universitas.
Akan tetapi, di lingkungan pondoknya masih
menerapkan sistem salaf. Setiap selesai menunaikan shalat wajib, para
santri menelaah kitab nihayatuz-zain, sahih bukhari, sahih muslim, fathul
wahhab, fathul mu’in, tafsir munir, dan sebagainya. Dengan sistem weton atau sorogan.
Dibandingkan dengan pesantren salaf, pesantren khalaf mengantongi
satu hal nilai plus karena lebih lengkap materi pendidikannya yang meliputi
pendidikan agama dan umum. Para santri pesantren khalaf diharapkan lebih
mampu memahami aspek-aspek keagamaan dan keduniaan agar dapat menyesuaikan diri
secara lebih baik dengan kehidupan modern dari pada alumni pesantren salaf.
Meskipun begitu, hendaklah jangan diartikan
bahwa pesantren khalaf lebih bermutu dari pada pesantren salaf. Ini karena dengan
masuknya ilmu-ilmu umum dan berbagai keterampilan kepesantren, bila tidak waspada
indentitas asli pesantren sebagai lembaga pencetak ulama serta pengembang,
penyebar, dan pelestari ajaran-ajaran Islam akan memudar. Kegiatan pendalaman ajaran Islam akan
tergeser oleh kegiatan-kegiatan lain yang sebenarnya lebih cocok dilakukan oleh
lembaga lain. Dikhawatirkan
pada akhirnya pesantren tidak berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan
umum.
Mengenai hubungan kiai dengan kelembagaan pada pesantren khalaf berbeda dengan
pesantren salaf yakni segala kekayaan dan bangunan pesantren umumnya
tidak dianggap sebagai milik kiai, melainkan milik masyarakat. Sebab pada
pesantren khalaf, pembiayaan pembangunan pesantren tidak hanya dari sang
kiai, tetapi juga dari masyarakat. Banyak komplek pesantren yang berstatus
wakaf, baik dari kiai terdahulu maupun orang-orang kaya di sekitarnya. Meskipun demikian, dari segi karisma dan ‘kekuasaan’, tidak berarti peran
kiai berkurang. Pada lembaga-lembaga pesantren yang berasal dari harta wakaf atau lainnya, sama seperti
pesantren salaf kiai tetap mempunyai kekuasaan mutlak atas kepengurusan
pesantren. Para kontributor juga beranggapan bahwa kiai berhak atas dana dari
masyarakat. Dana itu di anggap sebagai milik Allah, dan para kiai diakui
sebagai pribadi yang atas nama Allah atau agama mengurus dana dari masyarakat tersebut. Dalam praktiknya, jarang sekali diperlukan campur tangan masyakat dalam pengelolaan
dana-dana itu. [4]
C.
Mengetahui
Definisi Pesantren Modern
Pesantren modern merupakan salah satu agenda
yang sangat penting dalam sejarah pendidikan Islam Indonesia. Isu ini petama kali muncul pada permulaan abad ke-20, seiring dengan
mordinisasi dan perubahan sosial di masyarakat muslim Indonesia. Pengertian
pesantren modern dikontraskan dengan pesantren tradisional yang indentik dengan
kejumudan berpikir dan sistem pendidikan yang tidak efektif. Salah satu orang
yang paling berjasa dalam merumuskan konsep pesantren modern di Indonesia
adalah K. H. Imam
Zarkasyi (pendiri pondok modern Gontor). Dalam pandangannya, pesantren harus menerapkan kebebasan berpikir,
manajemen efektif dan efisien, dan pengenalan santri terhadap mordenitas.
Sikap yang tunduk secara membabi-buta (taklid) pada mazhab tertentu
sering kali mengakibatkan hilangnya kebebasan berpikir. Gontor sejak awal
menyatakan tidak terlalu mementingkan mazhab tertentu dalam perlaksanaan ibadah
keagamaan. Meskipun fiqih yang diajarkan kepada para santri adalah fiqih Mazhab
Syafi’i, namun santri ditekankan untuk tidak terjebak dalam khilafiyah. Untuk
menghindari hal ini, sudah sejak lama Gontor mengajarkan fiqih perbandingan
kepada para santrinya. Kitab yang menjadi rujukan untuk pelajaran ini adalah Bidayatul
Mujtahid karangan Abu al-Walid Muhammad ibn Rusyd, dikenal dengan Ibnu Rusyd.
Sementara pengenalan santri terhadap
mordenitas diwujudkan dengan cara membekali santri kecakapan bahasa inggris dan
arab kepanduan, keterampilan, musik, dan olahraga satu hal yang pada saat itu tidak dilakukan di pesantren. Pengakuan akan pentingnya nilai-nilai modern
disimbolkan dengan membiasakan para santri mengenakan jas dan dasi. Mengenai
masalah ini sempat muncul di lingkungan Muslim tradisional perdebatan yang
cukup hangat mengenai bagaimana hukumnya memakai dasi, jas, dan pantalon
(celana penjang), apakah itu
tidak termasuk kategori “tasyabbuh”?. Sebuah hadits Nabi Muhammad Saw menyebutkan, “barang siapa meniru-niru sebuah kelompok (tasyabbaha),
maka ia termasuk kelompok tersebut”.
Konteks perdebatan ini adalah, pada awal abad
ke-20, mengenakan dasi, jas, dan pantalon dianggap kebiasaan orang Belanda yang
kafir. Sementara itu kalangan pribumi mengenakan sarung, peci, blangkon, dan
sejenisnya (Mobini-Kesheh 1999). Akibatnya, masyarakat muslim tradisional
umumnya menolak mengenakan pakaian-pakaian tersebut. Dengan demikian keputusan
Gontor dan kelompok Islam modernis untuk mewajibkan santri dan para muridnya
mengenai pakaian-pakaian tersebut merupakan langkah berani.
Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan
pengetahuan agama dan umum, Gontor menciptakan kurikulum di mana ilmu agama dan
ilmu umum di ajarkan kepada santri. Para pendiri Gontor membuat sendiri
buku-buku pelajar yang dibutuhkan, baik pelajaran agama maupun pelajaran umum. Disini sebenarnya visi integrasi ilmu umum dan ilmu agama mulai dibangun.
Dengan kata lain, pesantren bukanlah lembaga pendidikan yang anti ilmu-ilmu,
namun berkeyakinan bahwa kedua ilmu itu merupakan satu kesatuan dan sebagai
perwujudan dari semangat peradaban Islam.
Tak pelak konsep
pesantren modern yang digagas oleh K. H. Imam Zarkasyi ini menjadi cetak biru bagi perkembangan pesantren modern selanjutnya. Murid-muridnya
yang tersebar di seluruh Nusantara menciptakan pesantren persis seperti yang
digagas sang kiai. Pada periode 1970 sampai 1980-an, beberapa alumni
Gontor mendirikan pesantren di tempat masing-masing. Di Banten berdiri
pesantren Daar El-Qalam Gintung Balaraja, di Madura pesantren Al-Amin prenduan
semenep, di Jawa Tengah pesantren pabelan, dan banyak lagi. Pesantren-pesantren
ini sering kali
disebut “pesantren alumni”, maksudnya alumni Gontor, generasi kedua yang juga turut mempengaruhi model pesantren modern pada
perkembangan berikut.
D.
Mengetahui Tujuan Pendidikan Perguruan Tinggi Pesantren
Secara makro, tujuan pendidikan di PTP
(perguruan tinggi pesantren) disesuaikan atau
sama dengan tujuan pendidikan nasional yang telah dirumuskan dalam UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang SisdikNas, yaitu bahwa Pendidikan Nasional bertujuan
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,
manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi
pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan
mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Dalam pelaksanaannya, PTP
juga mengikuti tujuan diselanggarakan Pendidikan Tinggi sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 30 Tahun 1990. Pada bab II pasal 2 ayat 1
disebutkan bahwa tujuan pendidikan tinggi adalah, untuk:
1.
Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan
akademik dan atau professional yang dapat menerapkan, mengembangkan, dan atau
menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian.
2.
Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, penggunannya untuk
meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Sedangkan secara mikro, pendidikan yang
diselenggarakan oleh PTP pada prinsipnya bertujuan membentuk insan-insan muda
calon pemimpin bangsa yang beriman dan bertakwa kepada Allah Yang Maha Esa,
sekaligus menguasai IPTEK, sehingga mampu melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan yang diembannya
dengan baik. Ini karena pada hakikatnya, diturunkannya manusia ke bumi tidak
lain adalah sebagai khalifah yang bertugas mengelola bumi demi kemakmuran
manusia dan segenap makhluk-Nya[5]
Hal ini dengan amanat GBHN, khususnya GBHN 1993, yaitu
dengan dilaksanakannya pendidikan, diharapkan manusia Indonesia mampu menguasai
IPTEK secara professional dan
ilmu agama secara mendalam. Sehingga diharapkan segera tercapai cita-cita
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, lahir dan batin, atau tercapainya Baldatul
Thoyyibatun wa Robbun Ghafuur, menurut terminologi Al-Qur’an, yaitu sebuah
negara yang bermasyarakat adil makmur serta diridhai Allah Swt, karena mengamalkan
ajaran-ajaran-Nya
E.
Mengetahui
Urgensi Pesantren Dalam pembentukan Kepribadian Muslim
Pesantren
sebagai lembaga pendidikan Islam yang memberi pengajaran agama Islam, tujuannya
tidak semata-mata memperkaya pikiran santri dengan teks-teks dan penjelasan-penjelasan
yang Islami, tetapi untuk meninggikan moral,
melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan
kemanusiaan, mengajarkan sikap tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan
menyiapkan murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Setiap murid diajar
agar menerima etik agama di atas etik-etik yang lain.
Tujuan
pendidikan pesantren bukanlah untuk mengajarkan kepentingan kekuasaan, uang dan
keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Allah Swt.
Diantara
cita-cita pendidikan pesantren adalah latihan untuk dapat berdiri sendiri dan
membina diri agar tidak menggantungkan sesuatu kepada orang lain, kecuali
kepada Allah Swt.
Kyai
yang mengajarkan mata pengajian bersifat aplikatif, dalam arti harus
diterjemahkan dalam perbuatan sehari-hari. Sang kyai sangat besar perhatiannya
terhadap kemampuan santri untuk mengaplikasikan pelajaran yang diterimanya. Karena
hampir tidak ada
bidang kehidupan yang tidak disentuh oleh aplikasi pengajian yang diberikan, mulai dari cara-cara mensucikan diri untuk
melakukan ibadah ritual, hingga kepada ketentuan prosedural tata niaga yang
diperkenalkan oleh agama, maka pemberian pengajian oleh sang kyai kepada
santrinya sama saja artinya dengan sebuah proses pembentukan tata nilai yang
lengkap, dengan cara penilaian dan orientasinya sendiri. Nilai-nilai yang
tercipta dalam bentuk serangkaian perbuatan sehari-hari inilah yang dikenal dengan nama cara kehidupan santri.
Sosok
santri sebagaimana tergambar pada hakikat cara kehidupan santri tersebut adalah
sebagai bukti signifikasi peran pesantren dalam membentuk pribadi muslim, yang
ciri-cirinya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Beriman dan
bertaqwa kepada Allah Swt
2.
Bermoral dan
berakhlak seperti akhlak Rasulullah Saw
3.
Jujur dan
menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual
4.
Mampu hidup mandiri
dan sederhana
5.
Berilmu
pengetahuan dan mampu mengaplikasikan ilmunya
6.
Ikhlas dalam
setiap perbuatannya karena Allah Swt
7.
Tawadhu’, ta’dhim
dan menjauhkan diri dari sikap congkak dan takabur
8.
Sanggup
menerima kenyataan dan mau bersikap qona’ah
9.
Disiplin
terhadap tata tertib hidup
Dan masih ada lagi tingkah laku
santri hasil dari dorongan dhamir-nya yang
menunjukkan kekokohan pribadinya menurut tata nilai Islam. Sudah barang tentu peran fungsi pesantren dalam pembentukan pribadi muslim,
tidaklah satu-satunya faktor yang menentukan, disana masih ada faktor lain yang
ikut serta melengkapinya, antara lain adalah faktor keluarga, sekalipun mereka
itu datang dari berbagai latar belakang
kehidupan yang tidak sama.[6]
III.
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan
bahwa pesantren khalaf adalah lembaga pesantren yang memasukkan
pelajaran umum dalam kurikulum madrasah yang dikembangkan, atau pesantren yang
menyelenggarakan tipe sekolah-sekolah umum seperti SMP, SMU dan bahkan
perguruan tinggi dalam lingkungannya.
Sedikitnya terdapat dua cara yang dilakukan
pesantren dalam merespon perubahan ini. Pertama, merevisi kurikulumnya
dan memasukkan mata pelajaran dan ketrampilan umum. Kedua, membuka
kelembagaan dan fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum.
Untuk itu pesantren yang menerima modernisasi
harus benar-benar selektif dalam menerima dan mengadopsi pola-pola dari luar.
Karena bisa jadi pesantren yang tidak selektif dalam mengikuti perkembangan
modernisasi ini akan kehilangan ruh dan identitasnya sebagai lembaga pendidikan
pesantren.
Dalam hal ini pemakalah setuju dengan pendapat
Nur Cholis Madjid yang mengatakan bahwa untuk memainkan peranan yang besar dan
menentukan dalam ruang lingkup nasional pesantren tidak perlu kehilangan
kepribadiannya sendiri sebagai tempat pendidikan keagamaan. Bahkan
tradisi-tradisi keagamaan yang dimiliki pesantren sebenarnya merupakan ciri
khusus yang harus dipertahankan, karena disinilah letak kelebihannya.
[1] Umi Fajriyyatul Munawaroh, “Pondok Pesantren Khalaf di Jawa (Kajian Islam Budaya
Jawa)”, Makalah Islam dan Budaya Jawa, (Semarang: IAIN Walisongo, 2014). Dosen: Maftukhah, M. Ag. Semester 1.
[3] Badan Litbang dan Diklat Kementrian
Agama, Peranan
Pesantren, (Jakarta: Maloho Jaya Press, 2010), t hlm.
[5] Abdurrachman Mas’ud, dkk, Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Semarang: Pustaka
Pelajar Offset, 2002), t hlm.
Komentar
Posting Komentar